Di bawah payung ini, diantara ribuan hujan jatuh. Debaran itu kembali terasa setelah sekian lama mati.
***
Saya kapok berteman dengan Naomi. Katanya dia akan memperlihatkan dunia yang berbeda dari sudut pandangnya, sesuatu yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Ia benar, dia melakukan tugas yang baik. Kemarin adalah pengalaman pertama saya merasakan terlambat ke sekolah, dimarahi guru dan mendapatkan hukuman. Luar biasa.
Kemarin adalah hari tersial saya selama 18 tahun hidup di dunia.
Saya merapikan buku-buku ke dalam tas. Jam beker menunjukan angka 06.00 dan saya sudah siap berangkat ke sekolah. Bukan tanpa alasan mengapa saya pergi pagi sekali. Tujuannya untuk mengantisipasi kejadian seperti kemarin.
Ketika membuka pintu, angin langsung menyapa saya. Langit menghitam tak seperti biasanya, titik-titik hujan mulai berjatuhan. Aah, saya tidak suka hujan. Tapi tidak juga membencinya.
Katanya hujan itu disukai banyak orang, pertama karena memberikan hawa sejuk, kedua disebut romantis, ketiga sebagai mesin waktu.
Ia, mesin waktu. Setiap kali datangnya hujan. Semua kenangan indah di masa lalu terputar bagai menonton setiap adegan film. Mungkin itulah alasan saya tidak menyukai hujan.
Karena ketika hujan datang, ingatan saya langsung tertuju pada kehidupan di masa lalu terutama saat ada Ibu dan adik perempuan saya.
Meskipun kita hidup sederhana, tapi keharmonisan tetap terjaga. Saya selalu senyum, tertawa dan bahagia.
Dan saya merindukan masa itu.
Saya berjalan menuju rak sepatu yang terletak di beranda, mengambil cepat dan hendak memasangnya.
Dorr!
Seseorang menepuk pundak saya dari belakang.
"Yah nggak seru, kok nggak terkejut sih?"
Suara itu, saya mengenalnya. Bukankah dia Naomi?
Tapi mengapa dia ada disini, saya melirik ke belakang. Benar sekali dugaan saya, gadis itu sudah siap dengan seragam putih abu-abunya, rambut panjangnya digeraikan dengan memberikan jepit di sebelah kanan sisi telinganya.
"Ah ulangi lagi dong, pura-pura terkejut ke. Biar guenya nggak bete." Naomi menggerutu.
Saya rasa semenjak hadir Naomi, hidup saya berbanding terbalik. Selalu saja ada satu hal yang membuat saya berada di pilihan yang sulit dan anehnya saya tidak bisa menolak, melawan bahkan untuk sekedar menghindari. Semua kata-kata Naomi berhasil menghipnotis saya.
Saya duduk di kursi, memakai kaos kaki. Sementara Naomi terus menggerutu. Namun tak lama dia mengikuti saya, duduk di sebelah kanan kursi. Memandangi saya.
Apa sebenarnya yang dia inginkan dari saya?
Pagi-pagi sudah berada di rumah saya. Seperti seorang stalker.
Sebenarnya saya ingin sekali menayakan pertanyaan itu, namun diurungkan. Gengsi saya terlalu tinggi. Lebih baik saya diam dan mendengarkan ocehan darinya. Ah benar-benar membosankan, dipagi hari harus mendengarkan alarm bernyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lurus
Dla nastolatkówGaris Lurus. Jika Jarak tanpa tepi, maka garis lurus yang menjadi akhir dari segalanya. Namun, sebelum hari akhir itu tiba. Bisakah Saya merasakan kembali apa itu cinta. Meski Saya tidak yakin, cinta itu ada setelah Ibu dan adik perempuan Saya per...