Rumah Tiada Akhir - 4

1.4K 22 1
                                    

"Tidak ada." Aku tidak tahu di mana aku menemukan keberanian ini untuk berbicara kembali kepada anak iblis ini, tetapi aku sudah datang sejauh ini hanya untuk membiarkan David mati. Dan jika aku mati, semua ini akan sia-sia. Tidak, aku memilih tidak. Namun kemudian aku melihatnya. Alasan kenapa gadis kecil itu membuatku takut. Dia lebih dari sekadar anak kecil. Ketika aku menatapnya, aku juga melihat apa yang tampak seperti seorang pria bertubuh besar, yang tubuhnya berbulu, dengan kepala kambing jantan. Itu adalah pemandangan yang mengerikan. Aku tidak bisa melihat salah satu dari mereka tanpa melihat yang lainnya. Gadis kecil itu berdiri di hadapanku, tetapi aku tahu wujud asli gadis itu. Ini adalah pemandangan paling buruk yang pernah kulihat.

"Sayang sekali." Dan dia menghilang bersama kalimat itu. Aku sendirian lagi, di dalam ruang kosong dan sunyi. Hanya saja kali ini ada sesuatu yang ditambahkan. Ada sebuah meja kecil di mana gadis itu berdiri yang muncul entah dari mana, seolah-olah sudah ada di sini sepanjang waktu. Ada sesuatu di atasnya, tetapi aku tidak tahu dari mana. Aku berjalan ke meja dan menatap benda kecil itu. Itu adalah sebilah pisau kecil, sejenis exacto pisau. Aku mengulurkan tangan dan kemudian aku berteriak. Ketika tanganku hendak mengambilnya, aku melihat sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Ada sesuatu yang dicap ke dalam kulitku, yaitu angka 6. Aku menatap kembali ke pisau dan melihat ada tanda yang menempel di benda itu:

Untuk Maggie – Dari Manajemen
*Saya pikir Anda mungkin membutuhkan benda ini*


Setelah membaca catatan itu, aku mulai menangis tak terkendali. Air mata mengalir di wajahku dengan deras. Aku tidak pernah menangis seperti ini dan aku tidak berpikir aku akan melakukannya lagi. Aku terjatuh dan kepalaku membentur lantai kayu yang keras. Aku menangis selama berjam-jam, hanya terbaring di sana, di atas lantai. Dan kemudian aku berhenti menangis dan napasku sudah teratur. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis. Ini bukan tentang David, ini bahkan bukan tentang bagaimana aku terjebak di sini. Masih tidak ada pintu di ruangan ini, aku masih terperangkap di ruangan ini. Namun aku tidak tahu kenapa aku menangis. Mungkin aku sedang depresi. Sepenuhnya depresi dan tanpa emosi. Aku merasa kosong, dan setelah itu aku mencakar lantai dan menenangkan diriku, kemudian berdiri menghadap meja. Mataku tertuju pada pisau, dan aku mengambilnya. Aku akan membunuh diriku sendiri. Aku tidak bisa menanganinya lagi. Aku harus melakukannya. David mungkin akan mati. Aku terperangkap di sini. Ini sudah berakhir. Aku menancapkan pisau itu terhadap pergelangan tanganku, tepat di atas angka 6 yang muncul di kulitku. Aku kembali menangis, dan hanya berdiri di sana, menangis dengan pisau yang ditancapkan ke pergelangan tanganku. David sudah mati, aku hampir mati. Tidak ada yang berarti lagi, dan dengan satu luka sayatan, aku mengiris pergelangan tanganku.

Segera setelah aku menancapkan pisau ke pergelangan tanganku, aku sudah tidak berada di dalam ruang ke-5 lagi. Aku tidak mati, aku tahu itu pasti. Depresi yang kurasakan hilang, tetapi bukan berarti aku merasa senang. Air mata masih mengalir di wajahku. Aku berada di ruangan yang mirip dengan ruangan sebelumnya, dan lagi, tidak ada pintu. Tidak ada lampu di langit-langit, tetapi entah bagaimana aku masih bisa melihat dengan jelas. Ruangan ini kosong, tetapi sebelum aku sempat berpikir apa yang harus kulakukan, ruangan ini menjadi gelap, dan dengungan kembali terdengar. Aku menutup telinga dengan rasa protes, dengungan terdengar lebih keras dari yang sebelumnya pernah kudengar. Namun dalam sekejap, ruangan ini kembali terang, hanya saja kali ini ada sesuatu yang ditambahkan ke ruangan ini. Dan kemudian aku berteriak. Ada seseorang di tengah ruangan, yang digantung dengan rantai dan telanjang dari pinggang sampai kepala, dan itu adalah David. Dia tampak sedang disiksa, ada luka sayatan pisau di dada dan lengannya.

"DAVID!" Aku berlari menghampirinya secepat yang kubisa. Dia kemudian tersadar, aku melihat dadanya bergerak naik dan turun, tetapi dia tidak berbicara. Dan saat itulah aku melihat apa yang terukir di dadanya. Aku berlutut ketika melihatnya. Angka 7 menatapku seolah-olah angka itu adalah mata.

Aku mendengar David berusaha untuk berbicara, dan aku menaikkan lututku dan aku mendekatinya sehingga aku bisa mendengar apa yang ingin dia katakan.

"David! David, bisakah kau mendengarku?!"

"Maggie... apa yang kau... apa yang kau lakukan di sini?" Suaranya sedikit mulai terdengar, dia bisa berbicara dan aku bersyukur.

"David, aku sedang berusaha untuk menyelamatkanmu. Apa yang harus kulakukan agar kau turun?" Ada gembok besar pada rantai yang menggantungnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan untuk mencari kunci gembok itu, tetapi yang kutemukan adalah sebilah pisau kecil di salah satu sudut ruangan. Logam gembok itu terlalu tebal untuk pisau yang bahkan bentuknya penyok, jadi aku mengabaikannya karena pisau itu tidak bisa digunakan. Aku kembali menghampiri David, dia tampak berada di ambang kematian, dan kemudian aku merasa kantongku bergetar. Ini adalah sesuatu yang buruk dan cukup mengejutkan, aku mengambil ponsel. Seperti yang kuduga, ada satu pesan yang belum dibaca. Aku membuka pesan itu dan membacanya:

"Orang itu bukan aku."

Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan. David berada tepat di hadapanku, tetapi pesan itu dari nomor pertama yang menghubungiku. Nomor itu seperti nomor di pesan yang pertama kali kuterima dari David yang menyebutkan NoEnd House.

"Maggie..." Aku mendengar suaranya dengan cukup jelas di telinga dan pikiranku. Seolah-olah, suara yang kudengar berasal dari segala penjuru. "Maggie... Kau harus pergi."

"Apa maksudmu? Bagaimana caranya?" Aku berhadapan dengan David, atau siapa pun itu yang dirantai di ruangan ini.

"Pisau itu..." dia membuat sedikit gerakan dari kepalanya ke arah sudut itu. "Pergi dan ambil pisau itu." Aku berlari dan segera kembali dengan pisau di kepalan tanganku hanya dalam hitungan beberapa detik. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku harus menyelamatkannya dan aku akan melakukan apa-

"Sekarang tusuk dadaku."

"...apa?" Aku terkejut. David tergantung di sana, menatap langsung ke mataku.

"Kau harus menancapkan pisau itu di angka tujuh yang terukir di dadaku. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita berdua."

"Tidak..." Aku terhuyung mundur. "Tidak, kata-katamu tidak masuk akal."

"Maggie!" Dia berteriak sekarang, matanya terlihat panik. Sisi mulutnya melengkung menjadi senyum menyeringai aneh. "Maggie, tusuk aku sekarang, ini adalah satu-satunya cara!" Aku menatap pisau di tanganku, kepalaku terasa seolah-olah dipukul dengan tongkat. Aku putus asa. Aku menutup rapat kedua mataku dan mencengkram pisau di tanganku.

"MAGGIE!" Dan bersama teriakan itu, aku mendorong pisau di tanganku ke arah David tepat di dadanya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku, aku tahu ini adalah satu-satunya cara. Aku membuka mataku dan melihat wajahnya. Dia ketakutan. Air mata mengalir di pipinya dan David menatapku.

"Kenapa... kau melakukan... ini...?"

Dia tidak bisa menipuku. Aku tahu dia bukan David. Jika dia adalah David, aku tidak akan mampu menikamnya. Aku tahu itu bukan dia aku tahu itu bukan dia. Bola matanya berputar sebagai tanda bahwa dia sudah tak bernyawa, tetapi ketika bola matanya berubah. Angka tujuh di tubuhnya menghilang, darahnya menetes ke lantai dan menjadi kolam tepat di mana aku berdiri. Cairan merah itu semakin membentang ke segala arah, hampir memenuhi ruangan, dan aku mulai tenggelam. Aku berusaha untuk bergerak tetapi aku tidak bisa. Rasanya seperti ditelan pasir hisap. Darah sudah sampai di lututku sekarang. Ketika aku berusaha untuk berontak aku hanya semakin tenggelam lebih dalam. Darah sudah sampai di dadaku sekarang. Aku mencakar-cakar kayu di sekitarku. Tubuh tak bernyawa David yang tergantung, menghadap ke arahku, sambil tersenyum. Darah mulai mencapai leherku. Aku sungguh ketakutan. Aku tenggelam, dan terjatuh ke dalam kegelapan.

Ketika aku terbangun, aku berada di luar rumah itu. Aku bisa merasakan tanah yang dingin di bawahku. Aku berguling telentang dan menatap langit malam. NoEnd House menjulang tepat di hadapanku, lengkap dengan mobilku yang terparkir. Aku tidak yakin apakah aku harus tertawa atau menangis. Aku sudah berada di luar. Aku sudah berada di luar aku sudah berada di luar aku sudah berada di luar. Aku berdiri dan membersihkan tanah dari celanaku. Tubuhku masih gemetaran ketika aku berjalan ke mobil, tetapi perasaan gelisah menyelimutiku. Tidak ada cara untuk membuatku melarikan diri. Rumah itu tidak akan membiarkanku pergi. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku tahu itu. Aku tahu aku tidak membunuh David di ruang keenam. Aku tahu aku tidak membunuhnya. Namun dia tidak bisa ditemukan di mana pun. Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong dan mengeluarkan ponsel. Tidak ada pesan yang belum dibaca. Namun aku mendapatkan sinyal. Aku membuka menu pesan di ponselku dan aku mulai mengetikkan pesan kepada David.

"Di mana kau?" Aku menulis kalimat itu di ponselku. Dalam hitungan detik ketika aku mengirimkan pesan itu, aku mendapatkan balasan. Aku menekan tombol buka dengan penuh semangat.



"Ruang ke-10, dan kau sedang berada di ruang ke-7, larilah!" Dan dengungan kembali menulikan telingaku.

Aku berlari secepat mungkin. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, tetapi aku tahu aku tidak berada di luar. Aku masih berada di dalam rumah itu. Dengungan menggetarkan segala di sekitarku. Termasuk angin yang mengguncang pepohonan. Aku hanya harus menemukan angka 8. Aku harus menemukan ruang selanjutnya. Itu adalah satu-satunya kesempatanku. Aku harus menemukan ruang ke-8. Beberapa ruangan pertama memang tampak sangat jelas, tetapi ketika aku menjelajahi lebih dalam, ruangan semakin sulit untuk dilalui, entah di mana ruangan dimulai dan berakhir. Aku tidak tahu di mana aku harus mencari, yang penting aku harus menemukan sesuatu yang memiliki nomor 8 di atasnya. Aku harus menemukan sesuatu yang memiliki angka 8 aku harus menemukan sesuatu yang memiliki angka 8 aku harus menemukan-

Ada pesan yang belum dibaca:

"alamatmu"

Apa maksudnya? Alamatku? Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam kantongku, dengungan terdengar semakin keras dan lebih keras. Dan saat itulah aku tertekan. Alamatku. Alamatku. Alamatku. Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin.

NosleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang