10

103 35 6
                                    

jaebeom menepati janjinya untuk membelikanku es krim. ternyata dia tidak bohong mengenai harga es krim tersebut yang setara dengan dua kali makan. wajar jika harganya mahal, karena rasa es krim itu benar-benar enak.

sesaat setelah matahari tenggelam, jaebeom mengajakku makan malam terlebih dahulu sebelum kembali ke penginapan.

"mau mesen apa?" tanya dia seraya membolak-balik buku menu.

"samain aja."

beberapa menit kemudian pelayan datang membawakan pesanan kami. bukannya makan duluan, jaebeom malah memperhatikanku yang sedang mengikat rambut.

aku merasa tidak nyaman jika makan dengan keadaan rambut yang tergerai, jadi aku selalu mengikat rambutku terlebih dahulu.

"apa liat-liat??" tanyaku galak. jaebeom memasang cengiran lalu menggelengkan kepalanya.

"lo tuh beneran kuliah ga sih? bukan belajar malah keluyuran," sindirku kepada laki-laki tersebut.

dia terkekeh, "ya gitu deh."

tiba-tiba dia menepuk tangannya sekali, seperti habis menemukan ide cemerlang, "besok mau ke kampus gue ga?"

"ngapain?"

"liat-liat aja."

aku bergumam pelan sambil memikirkan usulan jaebeom, tidak ada salahnya juga sih.

"kalau udah selesai kelas, gue kasih tau deh. abis itu gue ajak lo keliling."

"lo emang mau ngehubungin gue lewat apa?" tanyaku heran.

"lewat chat lah? lo kan punya hp."

"gue ga mau nyambungin hp gue ke internet."

"ya udah, gue telepon atau sms. lo udah beli sim card sini?"

"gue ga beli dan ga mau beli."

dia memijat pelipisnya, "nomer telepon penginapan lo deh, ada ga?"

"mana gue tau??"

dia menarik napas lelah, "lo lagi bertapa atau gimana sih? beneran niat buat menghilang ya?"

"iya."

"kalau ada yang bilang lo buronan, kayaknya gue bakal percaya."

"sembarangan!"

jaebeom mengeluarkan sticky note dari dalam tas dan menuliskan sesuatu di atasnya, "ini alamat kampus gue, dan cara buat kesananya udah gue tulisin."

aku membaca setiap kata yang tertulis di sticky note yang ia berikan.

"atau lo mau berangkat bareng gue aja?"

"dan nungguin lo selesai kelas? no thanks."

yang terjadi selanjutnya adalah jaebeom sibuk menjelaskan mengenai universitas di london kepadaku. aku tidak memperhatikan perkatan dia, justru salah fokus kepada kedua telinga laki-laki itu.

"pokoknya lo harus liat perpustakaanㅡ"

"lo punya berapa ear piercing sih?" tanyaku memotong ucapannya.

"hah?"

"telinga gue aja ga ditindik."

jaebeom sedikit bingung, namun akhirnya dia sadar kalau sedari tadi aku tidak mendengarkan dia karena bosan.

"lo mau ditindik?"

"pengen sih, tapi.."

"tapi?"

"enggak. udah lupain aja," aku bangkit dari duduk, berniat untuk membayar dan segera pergi dari tempat ini.

"lo tuh aneh banget ya," ucap jaebeom yang mengikuti langkahku keluar dari restoran.

"lo bukan satu-satunya orang yang ngomong gitu."

"i mean, lo kayak jaga jarak dari gue dan membangun pembatas yang tinggi. tapi di sisi lain lo juga ga menolak keberadaan gue."

aku membalikkan tubuh sehingga mata kami saling bertemu pandang, "lo pengen ngomong apa sih sebenernya?!" seruku kesal.

jaebeom langsung menciut mendengar nada suaraku yang meninggi.

"tolong bantu bawain tripod gue.."

forget and forgotten | im jaebeomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang