3 - Nomor Telepon

81 49 5
                                    

Suara gedoran pintu kamar yang keras melengkapi hiruk pikuk suasana pagi dirumah Afra. Seorang wanita dengan rambut digelung ke atas dan daster semata kaki sedang berkacak pinggang didepan pintu. Ia lelah membangunkan anaknya yang selalu molor setiap pagi.

Afra menggeliat sebentar. Menarik selimutnya yang melorot hingga lutut sampai kembali menutupi seluruh tubuhnya. Ia berpikir pagi masih lama sehingga tak ada alasan untuk bermalas-malasan sebentar.

"Mama gak mau tahu lagi, Ra. Terserah mau bangun apa nggak, mulai sekarang kamu harus sendiri." Seru ibunya, Aira, dengan wajah yang ditekuk.

Afra tak merespons, ia hanya mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali sebelum melihat ponsel yang berada disampingnya. "ASTOGEH! SETENGAH TUJUH!" teriaknya heboh, disusul dengan ranjangnya yang bergoyang akibat loncatannya, dan derap kaki berlari menuju kamar mandi.

Aira melirik sekilas kemudian menggelengkan kepalanya ke arah Afra saat anaknya itu sudah duduk dimeja makan setelah mandi bebek.

"Kamu itu udah besar, Ra. Jangan susah-susah dibangunin lagi." Nasehatnya, seraya menghidangkan nasi goreng dan jus jeruk ke hadapan Afra.

"Masih lima belas tahun. Masih bocah," jawabnya enteng dan mulai menyendokkan makanannya.

"Tapi udah banyak gebetan." Sahut ibunya, mendadak membuat gadis itu tersedak hingga hampir muntah. "Gitu aja kaget, gak ada riwayat penyakit jantung padahal."

Afra mendelik kesal ke arah Aira saat meminum jus jeruknya. Pasti Kak Adena yang cerita. Gerutunya dalam hati, kemudian segera menghabiskan nasi gorengnya dengan cepat karena tak ingin berdebat lagi dengan ibunya. Sudah cukup ia kalah tiga ratus enam kali sejak lahir ke dunia. Mulut emak-emak memang sulit dikalahkan.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari Talita. "Kenapa, Lit?" Tanya Afra to the point.

Terdengar suara berisik diseberang sebelum akhirnya suara feminin milih Talita menjawabnya. "Hei, lo dimana? Habis ini upacaranya dimulai."

"Upacara apaan?" Ia masih tak mengerti akan ada acara apa hari ini, yang ia pikirkan semalaman adalah strategi bagaimana cara agar Arvin mau memberi nomor teleponnya dengan senang hati, terpaksa juga tidak apa baginya, asalkan tetap bisa memilikinya.

"Ya ampun, Afra! Lo tuh pelupa apa gimana, sih? Jelas-jelas sekarang ada upacara penutupan kegiatan MOS. Gak habis pikir, deh. Cepetan berangkat gih, jam tujuh tepat harus udah ada dilapangan."

Tanpa mempedulikan telepon Talita yang masih tersambung, ia segera memasang kaus kaki dan sepatu dengan asal-asalan saat mendengar kalimat terakhirnya. Karena telat satu menit push up sepuluh kali. Ia tak ingin menjadi korban kedua setelah Arvin kemarin lusa. Meski ia dulu disekolahnya SMP cukup dikenal bandel dan tomboi, tetapi rasa takutnya kambuh ketika berhadapan dengan hal-hal yang berada dalam deadline.

Dengan kekuatan gas mobil dan keberanian yang cukup, akhirnya Herman berhasil melewati banyak lampu merah tanpa berhenti, klakson dari para mobil, dan ngebut sepanjang perjalanan meski macet dimana-mana. Selama itu pula, mulutnya tak berhenti untuk mengomel Afra yang hanya duduk diam membisu disampingnya.

Kalau saja tak ada upacara seperti ini, pasti pukul tujuh tepat ia baru sampai disekolahnya tanpa gugup sekalipun. Karena santai adalah prinsip hidup Afra yang entah sifat bawaan dari siapa.

...

Setelah upacara selesai dan dilanjutkan dengan kegiatan terakhir dihari Rabu itu, Afra terlihat celingukan dengan Talita disampingnya yang sedang berjalan beriringan menuju kelas.

i am (not) sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang