7 - Kunci Motor

51 36 3
                                    

Beberapa minggu semenjak Arvin mengakui itu, Afra merasakan sebuah perasaan yang aneh, ia tak nyaman dengan apa yang didengarnya meski sudah berlarut-larut. Walau ia selalu berusaha untuk melupakannya, namun ingatan itu semakin membekas dipikirannya.

Ia pun mengalihkannya dengan membuka buku matematika yang sudah dilipat beberapa lembar diantaranya, sebagai tanda bahwa ada PR dihalaman itu.

Berkali-kali ia berusaha memahami soal itu, berkali-kali pula Afra mengetuk jidatnya dengan bolpoin saking tidak mengerti apa yang ditanyakan dan diperintahkan. "Goblok! Goblok!" Serunya putus asa.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Muncul Adena dibaliknya. "Ra, aku sama ibu mau pergi sebentar. Kamu dirumah sama ayah, ya?" Ia berjalan mendekati Afra.

"Mau kemana?"

"Nemenin ibu ke rumah temennya. Udah, jaga diri baik-baik. Mau nitip makanan, gak?"

Raut wajah Afra seketika berubah ceria. "Martabak telor!" Katanya seraya mengacungkan tangan kanannya.

"Gorengan mulu! Gak baik, katak!" Omel Adena seraya melirik buku matematika yang masih kosong dilembar jawabannya. Padahal, ada coretan PR disana. "Kerjain dulu, itu. Baru aku beliin."

"Bodo amat, gak bisa."

Adena nyelonong pergi. "Ya udah, gak usah martabak."

"Ih, bangke! Beneraaan! Laper banget tau." Teriak Afra membuat Adena urung membuka pintu. "Kalo itu gak dikerjain, martabaknya diganti sama buah pepaya aja. Lebih sehat buat otak kamu, biar gak seleweng kayak gini."

"Apaan sih, emang ini sulit banget. Coba, bisa gak?" Afra menyodorkan bukunya itu kepada Adena dengan cemberut. Tetapi sebelum sampai ditangan kakaknya, Adena telah keluar kamar dengan tawa meledek.

Selepas kepergian Adena, Afra kembali merebahkan dirinya diranjang. Matanya terpejam beberapa saat dan merasakan bayangan sesuatu merambati dirinya. Cepat-cepat ia membuka mata dan berusaha mengalihkan ingatan tentang seseorang yang terus menghantuinya.

Empat puluh lima menit berlalu dan Afra hanya rebahan tanpa melakukan apa-apa yang bisa dilakukan untuk pelajaran esok. Sepanjang menunggu Adena datang, ia hanya melamun tak jelas.

"Masih belum dikerjain juga? Nyesel beliin kamu martabak." Teriak Adena yang sukses membuat Afra terlonjak kaget. "Keluar, makan sama-sama."

Afra bangkit dari tidurnya tanpa menjawab apa-apa. Ia hanya mengikuti Adena yang berjalan didepannya menuju meja makan.

Sesaat ia melihat martabak telur yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian itu dengan bingung. Seperti berpikir sesuatu.

"Cepetan makan. Gak baik melamun didepan rezeki." Omel Adena lagi, membuat Afra jengah dan kembali ke kekamarnya untuk mengambil ponselnya.

Gue harus mulai semuanya dari awal. Bisiknya kepada diri sendiri. Dipotretnya potongan martabak itu dengan latar belakang dinding dapur yang berada diseberang dengan fokus pada satu titik membuat kesan artistik. Ia lalu mengirimkannya kepada seseorang.

"Gue ada makanan, Ar. Siapa tau angetnya martabak ini bisa bikin lo jadi gak dingin-dingin amat jadi cowok." Tulisnya dibawah foto tersebut untuk menyertainya.

Afra mulai memakan sepotong demi sepotong hingga mulutnya terasa haus dan perutnya kenyang. Sebentar-sebentar ia melirik ponsel, memastikan setiap notifikasi yang masuk. Tetapi Arvin tak juga membalasnya. Semenjak pertama kali ia meminta agar nomor whatsapp-nya disimpan oleh Arvin, Afra tak pernah mengirim pesan kepadanya lagi. Ia sadar, cowok itu akan risih dengannya jika tiap hari mengganggunya tanpa sebab. Meski tak dipungkiri bahwa hatinya sendiri juga menginginkan hal itu, tetapi mustahil.

i am (not) sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang