9 - One Shoulder Dress

46 33 1
                                    

Arvin menghampiri Afra yang masih berdiri tegak diambang pintu menunggu dia untuk keluar kelas. Ia sudah siap jika harus menerima hujatan dari cewek rusuh ini.

"Tanggung jawab, lo!" Omel Afra kesal dengan kedua tangannya bersedekap didepan dada.

"Iya, gue minta maaf. Jujur yang gue inget cuman ketela. Suer," Arvin menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan senyum yang dipaksakan.

"Tai lo, ah." Afra kembali memasang tampang cemberut. "Suer lo gak bakal bisa gantiin rasa malu gue didepan tadi."

"Lo pikir lo doang apa yang malu? Gue juga!"

"Kan itu salah lo, ngapain pake salah nyebut nama segala! Bikin ribet hidup orang aja,"

Helaan napas terdengar dari Arvin yang sepertinya sudah lelah dan pasrah jika harus dihadapkan untuk berdebat dengan Afra. Ia tak mampu. "Gue minta maaf, deh. Besok gue beliin roti coklat keju lagi. Janji," Arvin hendak menyerobot pintu saat tangan kiri Afra menghadangnya. "Gak cukup buat ngegantiin rasa malu gue tadi!"

"Ribet amat, sih." Arvin mendorong bahu Afra dengan kuat, membuat gadis itu hampir terjengkang ke belakang.

"Lo mau kemana? Hei, gue belum selesai ngomong!" Afra berlari-lari kecil mengejar Arvin yang sudah tak menggubrisnya. "Elah, buru-buru banget. Mau jemput Aileen emang? Iya sih, pacar makanya jadi prioritas terus."

Arvin diam, tak menjawab. Membiarkan gadis ini terus mencerocos hingga ia merasa lelah sendiri.

"Lo tau gak sih? Sejak pertama kali gue ketemu lo, gue udah niat dalam hati bakal jadi penyelamat lo pas dihukum anak OSIS gara-gara gak bawa kartu identitas. Gue kasian liat lo panas-panas terus push up dilapangan yang panas banget itu. Gue kasih minum ke elo, lo malah gak ngehargain usaha gue. Padahal gue tulus, gue cuman mau jadi temen lo. Soalnya lo keliatan antisosial banget. Dan sampai sekarang, hampir sebulan kita sekolah disini dan sekelas, lo masih aja dingin. Cair-cair kalo pas kepepet doang. Kapan sih, lo itu terbuka gitu sama gue? Gak cuma sama Raka dan geng lo. Lo kayak gak nganggep gue, padahal gue temen pertama lo." Afra bercerita panjang lebar hingga ia kesal sendiri.

"Udah ngomongnya?" Tanya Arvin meledek. Ia tersenyum sinis, seolah menganggap Afra yang ada dibelakangnya adalah anak kecil yang merengek minta balon.

Afra yang mendengar itu kemudian berjalan tergesa mendahului langkah Arvin yang santai, berusaha menahan emosi agar tidak memarahi cowok itu lagi. Meski didalam hati ia masih menyimpan dongkol.

Arvin menggelengkan kepalanya. Entah kenapa ia merasa tak serisih dulu saat Afra ingin dekat-dekat dengannya. Walau terkadang menjengkelkan, tetapi ia sudah kebal dengan segala tingkah laku Afra yang rusuh, yang selalu menemaninya setiap pulang sekolah.

Huh, ia tak peduli lagi. Yang terpenting sekarang adalah, pulang ke rumah dan bisa tiduran diranjang kamarnya tanpa diganggu siapapun, meski tatapan ganas Afra dari kursi tunggu terus menyertainya saat melewati gerbang.

...

Aileen menatap cilok yang ada didepannya tanpa minat. Sedari tadi, ia melihat seperti ada hal aneh yang disembunyikan Arvin.

"Kamu kenapa, sih? Sekarang jarang banget care. Ada siapa? Si Afra itu, ya?"

Arvin menoleh dengan terkejut. "Apaan? Aku gak pernah deket sama dia. Masa cemburu cuman gara-gara cerita?"

"Dia kan suka kamu."

Arvin tergelak. "Ada-ada aja." Ia kembali menatap ponselnya, dan tak mengacuhkan tatapan penuh harap dari Aileen yang ingin bicara.

"Tuh kan, chatan terus."

"Nih, Raka nih. Aku gak pernah chatan sama dia, terakhir aja seminggu yang lalu." Arvin menyodorkan ponselnya, memberikan bukti.

i am (not) sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang