2. [Pertemuan]

360 30 5
                                    

Deven memarkir mobil ditempat favoritnya, tepat dibawah satu-satunya pohon rindang di lapangan sekolah itu. Tak lama kemudian ia keluar dan menatap sekeliling. Selama beberapa minggu terakhir Deven sering berkunjung ke sini. Bukan untuk sekolah, tentu saja, melainkan untuk mengenang gadis yang telah berhasil mengambil hatinya.
Naswa.

Mengingat nama itu, Deven refleks tersenyum. Namun, secepat senyumnya datang, secepat itu pula senyumnya menghilang.

Perlahan ingatan tentang Nashwa mulai memenuhi benak Deven. Sejak pertama melihat Nashwa, Deven tau dirinya sudah tertarik pada gadis itu. Sekalipun Nashwa sudah mengatakan bahwa dirinya mempunyai pacar, Deven sama sekali tak berniat menyerah. Namun, setelah beberapa saat Deven tau ia harus berhenti.
Nashwa dan Friden terbukti tidak bisa dipisahkan. Nashwa begitu sayang pada Friden, begitu pula sebaliknya. Deven memang sempat dekat dengan Nashwa, tapu ia sadar Nashwa hanya menganggapnya sahabat, mungkin juga kakak. Tak pernah lebih dari itu.

Deven menghela napas panjang. Meski sudah menyerah sejak sebulan yang lalu, ia masih belum bisa benar-benar melupakan Nashwa. Bukannya tidak berusaha, tapi melupakan memang tak semudah itu. Deven sudah mengurangi frekuensi pertemuan nya dengan Nashwa, tapi itu sama sekali tak membantu. Terkadang hal itu justru memperbesar rasa rindunya. Jika sudah terlalu menyiksa, Deven memilih ke tempat ini, tempat yang pasti disinggahi Nashwa kurang-lebih delapan jam sehari. Sekolah gadis itu.

Deven mulai melangkah dengan muram. Tanpa sadar, matanya tak henti mengamati sekeliling sekolah yang tampak lengang. Deven berharap bisa bertemu dengan Nashwa siang itu. Tapi seperti yang telah diduganya, Nashwa tidak tampak disana. Jam sekolah sudah berakhir sejak dua jam lalu, jadi memang mustahil jika Nashwa masih di sana. Apalagi Deven tau Nashwa tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun.

Sambil memasukkan kedua tangan ke saku, Deven berjalan dalam diam. Rasanya baru sebentar ia berjalan saat suara isak tangis terdengar di telinganya.

Deven menghentikan langkah. Dilihatnya sekeliling dengan cermat, tapi tak menemukan siapapun. Ia mencoba mendengar lebih teliti, mencari asal suara. Ketika ia yakin suara itu berasal dari balik semak, tanpa ragu Deven melangkah mendekat.

Ia menghitung sampai tiga sebelum melangkah ke balik semak. Pada hitungan keempat, sosok itu langsung terlihat oleh nya. Dan Deven hanya butuh sekian detik untuk mengenali gadis itu.

"Anneth?"

--<><>--

Mendengar namanya dipanggil, Anneth refleks mendongak. Sesosok cowok terlihat samar dimatanya. Dengan cepat Anneth mengusap air matanya yang begitu sulit berhenti. Begitu air mata itu menghilang, sosok cowok itu baru jelas terlihat.

Anneth mengerang dalam hati. Dari semua orang yang mungkin memergoki nya, ia tidak pernah menyangka Deven yang akan berdiri dihadapannya saat ini.

Ia tidak terlalu mengenal Deven. Tapi ada satu hal yang Anneth tau jelas tentang cowok itu. Deven adalah orang yang pernah ngejar Nashwa, salah satu sahabat nya, sekalipun tau Nashwa sudah punya pacar. Dan jujur saja, satu alasan itu sudah cukup membuat Anneth tidak menyukai Deven. Dalam kondisi biasa saja Anneth lebih memilih untuk tidak bertemu atau berurusan dengan cowok itu, apalagi dalam kondisi memalukan seperti ini!. Tak ingin tampak memalukan lagi, Anneth cepat cepat berdiri.

"Lo kenapa neth? Ada masalah?" Tanya Deven kuatir.
Anneth sedikit mendongak. Tinggi Deven hampir 180 cm membuat Anneth yang tingginya hanya 160 cm merasa begitu kecil.

Sesaat Anneth tidak bisa menjawab. Matanya seakan terhipnotis. Anneth tau Deven tampan, tapi ia tak pernah melihatnya dalam sedekat ini. Anneth tak dapat mencegah dirinya untuk terpana.

"Neth, lo kenapa?" Ulang Deven.
Anneth tersentak. Buru-buru ia memalingkan wajah. "Gue nggak apa-apa. Permisi."

Sebelum sempat bergerak, tangan Deven sudah menyambar lengannya. "Jangan bohong, Anneth. Lo nggak mungkin nangis kalau nggak apa-apa."

Anneth menepis tangan Deven secara halus. "Gue sudah bilang gue nggak ada apa-apa. Tadi... tadi cuma kelilipan."

Anneth langsung menyesali kebodohannya. Kelilipan adalah alasan paling tidak masuk akal yang pernah dikarangnya. Mana mungkin ada kelilipan yang efeknya begitu dahsyat.

Namun, Deven tidak tertawa. Cowok itu justru memandangi Anneth dengan serius. "Kalo lo nggak mau cerita, nggak masalah, neth. Tapi kalo lo butuh teman ngobrol, gue siap jadi pendengar yang baik. Jangan ragu buat cerita ke gue. Siapa tau gue bisa bantu," kata Deven yakin.

Sejenak Anneth diam mematung. Meski ia tau hanya basa-basi, tawaran Deven lumayan menenangkan hatinya. Paling tidak ia tahu masih ada yang peduli padanya. Yah.... Meskipun itu dari cowok semacam Deven.

"Thanks, dev, tapi gue nggak apa-apa kok. Permisi."

Tanpa menunggu jawaban Deven, Anneth melangkah pergi. Deven hanya bisa mengawasi kepergian gadis itu dengan heran.

--<><>--

Ketika Anneth membuka pintu kamarnya siang itu, ia langsung menemukan tiga sosok sahabatnya memenuhi ranjang kebesarannya. Melihat sekilas air muka mereka, Anneth tau ketiga sahabatnya pasti sedikit-banyak sudah tau tentang apa yang terjadi padanya.

Yang pertama Anneth lihat ada Joaqirana Wijaya, atau yang biasa dipanggil Joa. Joa adalah teman terakrabnya di antara yang lain. Selain sekolah, Joa sering sibuk dengan pekerjaannya sebagai penyair di salah satu stasiun radio ternama di Jakarta.

Mata Anneth beralih cepat ke Nashwa Handiwinata, yang luar biasa cantik dan mempunyai penggemar yang tak kalah menarik. Salah satunya Deven tadi. Sama seperti Joa, Nashwa juga bukan murid biasa. Selain sekolah, Nashwa kerja sambilan sebagai asisten salah satu desainer muda terkenal di Jakarta.

Yang terakhir dilihat Anneth adalah Charisa Prayogi. Sahabatnya yang satu ini adalah ketua ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah mereka. Tulisannya benar-benar bagus. Entah sudah beberapa kali Charisa memenangkan berbagai lomba jurnalistik baik di dalam maupun di luar sekolah.

Anneth menghela nafas berat. Sebenarnya ia ingin sendirian saat ini. Tapi karena tau sahabat-sahabatnya berniat baik, Anneth menarik kakinya hingga mendekati ranjang, lalu merebahkan diri di tempat yang masih kosong.

Sesaat tidak ada yang berbicara. Setelah hening beberapa lama, Nashwa tak tahan lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyanya tak sabar.

Anneth memandang wajah Nashwa yang ada di sampingnya dengan tatapan kosong.

"Tadi Deven telpon Nashwa. Dia tanya tentang lo dan dia bilang lo nangis tadi. Ada apa, neth?" Sambung Joa.

Anneth memejamkan mata. Setelah hatinya agak tenang, ia bangkit dari posisinya dan duduk bersandar. Anneth menatap ketiga temannya satu per satu dengan mata sayu.


Hallo semua! Ini aku bawa cerita baru👌. Baca terus kelanjutan ceritanya ya! Hope you like this story!. Jangan lupa follow akun wattpad ini. Dengan kalian mem-follow akun wattpad ini, berarti kalian udah mensuport aku bikin cerita ini. Dan jangan lupa untuk nge-vote setiap ceritanya. Jika kalian nge-vote setiap ceritanya, berarti kalian pengen cerita ini di next! Oke guys. Thanks buat yang udah baca cerita ini.
Byee!!

JANGAN SIDER!

Dari Kita Untuk Kita. [Wattys2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang