8. [Makasih]

220 24 1
                                    

Anneth menyukai potongan rambutnya yang baru. Rambutnya kini tinggal sebahu lebih sedikit. Layer-layer pada rambutnya membuat Anneth terlihat lebih segar dan ceria. Namun begitu, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tersinggung nya pada Deven.

"Menurut lo, gue parah banget ya sampai perlu di bawa ke salon segala?" Pancing Anneth saat mereka dimobil. Deven mengerutkan kening. "kenapa lo punya pikiran begitu?"

"Ya... Kalau lo nggak anggap penampilan gue parah, buat apa lo sampai makeover gue kayak begini?"

"Makeover? Apanya yang di makeover? Aneh lo." Deven menggeleng heran.

"Trus, ngapain lo bawa gue ke salon segala?"
   
"Sekarang gue tanya, bagaimana perasaan lo setelah di massage, dilulur, dan di-facial tadi?"
   
"Hmm..."

"Jadi lebih enteng kan? Lebih enak, kan?" Tuntut Deven. Dengan amat enggan, Anneth mengangguk. "Iya sih..."

"Karena memang itu tujuan gue ngajak ko kesana. Gue tau lo stress dan banyak pikiran, makanya gue mau bikin lo lebih santai. Dan setau gue, buat kebanyakan cewek, memanjakan diri seperti yang lo lakuin tadi termasuk salah satu cara ampuh untuk membuat diri lebih rileks. Terbukti, kan?" Anneth langsung tak bisa berkomentar. Kalau sampai benar Deven hanya berniat seperti itu, berarti Anneth salah menilainya.

"Dan kenapa gue suruh lo potong rambut? Itu karena menurut gue lo kurang cocok dengan potongan rambut lo dulu. Bukan nggak cantik, tapi gue yakin lo bakal terlihat lebih oke dengan potongan yang benar-benar sesuai dengan karakter lo." Anneth masih tak bisa berhenti menatap Deven. Dia memang telah salah paham...

Deven menoleh sekilas kearah Anneth sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah jalanan. "Sama-sama," katanya tiba-tiba. Anneth mengernyit heran. "Gue nggak bilang apa-apa."

"Tapi gue tau lo mau bilang makasih." Mau tak mau, Anneth akhirnya mengangguk. "Iya, thanks ya, Dep."
"Oke." Setelah itu Deven kembali berkonsentrasi pada jalanan sementara Anneth berulang kali melirik pantulan dirinya di kaca jendela. Benar kata Deven, rambut barunya membuatnya tampak lebih baik. Jauh lebih baik malah.

--<><>--

Anneth berpikir Deven akan membawanya pulang. Namun, ternyata Deven membawanya ke Grand Indonesia siang itu. "Ngapain kita kesini?"

"Kita makan siang dulu sebelum melanjutkan agenda kita hari ini. Gue sudah kelaparan dari tadi," jawab Deven. Anneth membelalak. "Masih ada agenda lain?"

"Iya. Kalau nggak, buat apa gue memulai agenda kita pagi-pagi banget hari ini."
"Oh..." Anneth membulatkan mulut. Dalam hati ia tak bisa memungkiri semangatnya mengikuti Deven semakin tinggi. "Lo mau makan dimana?" Tanya Deven sambil menoleh ke arah Anneth yang berjalan selangkah lebih lambat dari dirinya. "Terserah lo aja." Deven menyipit menatap Anneth. "Ada yang salah dengan jawaban gue?" Tanya Anneth heran.

"Cowok paling anti dengan jawaban terserah. Kenapa? karena jujur aja, cewek itu makhluk paling membingungkan di dunia ini. Eh, jangan marah dulu. Gue udah berpengalaman dalam hal ini. Setiap kali gue tanya cewek gue mau makan dimana, jawabannya selalu 'terserah'. Tapi waktu gue ajak ke restoran pilihan gue, semahal-mahal ya resto itu atau seenak-enaknya makanan disana, pasti ada aja yang diprotes oleh makhluk bernama cewek. Mulai sekarang, tiap kali lo ditanya mau makan dimana, jawab yang lo mau. Kalau memang nggak ada tempat yang lo pengen, jangan protes dengan pilihan cowok yang lagi pergi sama lo. Cowok lebih suka cewek yang ngomong langsung apa maunya daripada yang nyuruh kami para cowok untuk jadi cenayang, yang bisa tau apa maunya cewek tanpa perlu mereka ngomong," jelas Deven panjang lebar.

Anneth menatap Deven dengan serius. "Semua cewek lo seperti itu ya?"

"Ya sayangnya, hampir semua begitu," desah Deven. "Tapi sudahlah, kita nggak perlu membahas mereka. Yang jelas, mulai hari ini anggap gue ini guru lo. Gue nggak cuma akan bantu lo buat menemukan kepercayaan diri lo, tapi gue juga bakal ajari lo tentang cowok, supaya lo nggak salah pilih lagi di masa depan." Anneth terdiam. Yah, semoga saja benar begitu.

--<><>--

Setelah makan siang, Deven mengajak Anneth ke sebuah optik kacamata di mall tersebut. Tanpa permisi Deven menarik tangan Anneth dari deretan softlens yang tertata rapi di sudut ruangan. "Pilih warna yang lo suka," kata Deven.
"Siapa yang bilang gue mau pake softlens?" Tanya Anneth kembali kesal.
"Gue yang bilang," jawab Deven mantap. "Sudah gue bilang tadi, lo nurut aja."

Setengah terpaksa, Anneth mulai mengamati deretan softlens didepannya. Belum sempat memutuskan apa-apa, tiba-tiba Deven sudah menunjuk softlens berwarna coklat. "Yang ini neth, cocok buat lo." Sebenarnya Anneth ingin memilih sendiri, tapi melihat kepuasan diwajah Deven, ditambah dengan warna yang dipilih Deven memang cukup indah, akhirnya ia mengangguk setuju. "Oke," jawab Anneth singkat.
"Lo minus berapa? Mau sekalian cek ulang nggak?"

Anneth menggeleng cepat. "Nggak perlu. Baru bulan lalu gue cek mata. Minus satu." Deven langsung mengalihkan tatapannya ke pramuniaga toko. "Yang warna itu minus satu ya, mbak." Katanya tanpa ragu. Pramuniaga itu beranjak dari hadapan mereka, Anneth mendekati Deven dengan bertanya lirih, "Apa gue benar-benar perlu pakai softlens?" Tanya Anneth serius. "Kenapa? Ada masalah?" Anneth bergerak gelisah. "Bukannya gitu, tapi gue takut memasukkan benda asing ke mata."

Deven tertawa kecil. "Itu masalah gampang. Setelah ini lo latihan dulu sampai bisa. Setelah lo bisa, baru kita pulang. Dan percaya deh sama gue, ini akan membuat lo jauh lebih menarik daripada sebelumnya."

Anneth mendengus. "Maksud lo, gue jelek dengan kacamata?" Deven mendecak tak sabar.

"Pikiran lo sudah negatif, ya? Gue suruh lo pakai softlens, soalnya kalo lo pakai kacamata, lo jadi terlihat terlalu pintar. Dan jujur aja, cowok kayak gue lebih suka berhubungan dengan cewek yang nggak lebih pintar dari gue."

Anneth kontan terdiam. Tampak terlalu pintar? Benarkah? Anneth menatap dirinya di cermin kecil yang ada dihadapannya. Seorang gadis berkacamata membalas tatapannya. Entah karena ucapan Deven atau memang demikian, gadis itu memang tampak terlalu pintar. Bukannya tidak cantik, tapi gadis itu terlihat terlalu serius. Pramuniaga toko akhirnya kembali. Anneth mulai berkutat dengan softlens-nya. Setelah berhasil, ia tau usahanya tidak sia sia karena saat melihat cermin, Anneth menemukan gadis yang jauh lebih menarik daripada yang dilihatnya sebelumnya.

Merasa puas dengan penampilan nya, Anneth melirik Deven dan tersenyum lebar. Sepertinya ia memang berhutang banyak terima kasih pada Deven hari ini.

   

Hallo semua! Ini aku bawa cerita baru👌. Baca terus kelanjutan ceritanya ya! Hope you like this story!. Jangan lupa follow akun wattpad ini. Dengan kalian mem-follow akun wattpad ini, berarti kalian udah mensuport aku bikin cerita ini. Dan jangan lupa untuk nge-vote setiap ceritanya. Jika kalian nge-vote setiap ceritanya, berarti kalian pengen cerita ini di next! Oke guys. Thanks buat yang udah baca cerita ini.

Ps:- Ini partnya udah dipanjangin, sumpah! Butuh mikir berulangkali ders. Tapi untuk kalian semua yang setia dengan cerita ku ini, rasa pusing nya nggak kerasa.
-mau aku update double part nggak? Komen dong!.
-AUTHOR KEMBALI. BISMILLAH DI SEMPET SEMPETIN UPDATE LOH.

Byee!!!

JANGAN SIDER!

Dari Kita Untuk Kita. [Wattys2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang