Anneth menatap Deven dengan penasaran sekaligus tak percaya. "Gue bisa bantu kalau lo mau," pancing Deven dengan mimik wajah serius. Dari tatapan Anneth, Deven tau gadis itu mulai mendengarkan dengan serius.
Anneth berpikir keras. Perlukah ia melanjutkan pembicaraan ini? Mungkinkah ada cara mudah untuk keluar dari semua perasaan yang menderanya selama ini? Seriuskah Deven dengan semua yang dikatakannya?
"Apa untungnya bagi lo?" Tanya Anneth.
"Maksud lo?"
"Lo bilang lo mau bantuin gue. Apa untungnya buat lo? Kita dibilang kenal juga hanya sekedar tau nama. Kenapa mau repot-repot?"Deven tersenyum ramah. "Seperti yang gue bilang tadu, gue murni cuma ingun melihat Nashwa bahagia. Dan kalau cara membuat bahagia Nashwa adalah dengan bantuin lo, kenapa nggak?"
Tatapan Anneth melembut setelah mendengar jawaban itu. Sepertinya Deven masih sangat peduli pada Nashwa meskipun cowok itu tau Nashwa tidak mungkin akan menganggapnya lebih dari teman. "Lo masih belum bisa ngelupain Nashwa, ya?" Tanya Anneth hati-hati.
Deven tak pernah menduga akan mendengar pertanyaan semacam itu. "Nggak mudah melupakan seseorang yang lo cintai. Tapi hidup harus terus berjalan, kan? Dan dengan membantu lo, siapa tau gue juga bisa belajar melupakan Nashwa."
Anneth termenung sejenak. Jawaban Deven barusan membuatnya yakin bahwa cowok itu serius ingin membantunya. Tapi tidak anehkah jika ia menerima bantuan Deven sementara mereka tidak terlalu saling mengenal?
"Mungkin kita belum terlalu kenal dan lo risi dengan kenyataan itu. Tapi niat gue memang cuma ingin membantu lo supaya lo nggak kayak gini terus. Kalau gue jadi lo, gue bakal terima bantuan siapapun asal gue nggak terus-terusan terpuruk dan merugikan diri gue sendiri. Tapi semuanya balik lagi ke lo. Kalau lo tetep keberatan, gue nggak akan ganggu lo lagi. Yang penting gue sudah menawarkan bantuan."
Hening.Anneth menatap Deven. Deven pun tengah menatapnya, menunggu jawaban.
"Bantuan apa yang lo bicarain?" Tanya Anneth pelan. Deven tersenyum puas dalam hati. "Pertama, kita harus mengembalikan kepercayaan diri lo yang sudah lo buang entah kemana itu. Dan gue punya cara asyik untuk itu. Tapi bukan hari ini. Lo kosong kan hari Minggu?" Tanya Deven. Anneth mengangguk."Bagus. Kalau gitu kita mulai hari Minggu. Gue jemput lo Minggu pagi," kata Deven tanpa memberikan kesempatan Anneth bicara. Anneth memantapkan hati sekali lagi sebelum mengangguk dan akhirnya berpisah dengan Deven hari itu.
--<><>--
"Anneth, bangun! Ada temen kamu tuh dibawah." Anneth tersentak, langsung terbangun dari tidurnya. Setengah mata terpejam ia melihat sosok mama yang telah membangunkannya. Ia lalu melirik jam beker dan mengerang panjang. "Yah, mama... Inikan Minggu. Baru jam tujuh pula. Anneth masih mau tidur." Anneth menutup matanya kembali.
"Tapi masalah nya, temen kamu sudah nunggu dibawah. Mau dianggurin sampai kapan?". Dengan amat terpaksa Anneth kembali membuka mata. "Teman Anneth, ma? Mana mungkin ada yang datang pagi-pagi begini. Paling-paling masih pada molor."
Mama tersenyum penuh arti. "Buktinya yang dibawah nggak molor, neth. Ayo buruan bangun dan mandi." Rasa penasaran membuat kuntuk Anneth hilang perlahan. "Siapa sih, Ma? Kalau Nashwa, Joa, sama Charisa, nggak mungkin. Biasanya mereka kan langsung masuk kesini. Dan mereka juga nggak mungkin bangun lebih pagi daripada Anneth."
"Bukan mereka kok. Sudah, buruan bangun. Nanti nyesel loh".
"Ah, males, ma. Suruh dia naik aja deh. Nanti Anneth ajak tidur bareng."
"Hus!!! Ngaco kamu!"Anneth menatap mamanya dengan penasaran. Kalau mamanya sudah senyum-senyum misterius begini, pasti ada yang tidak biasa. "Tamunya cowok ya, Ma?" Tanya Anneth sangsi. Bukannya menjawab, Mama malah tersenyum semakin lebar sambil mencubit pelan pipi Anneth. "Pura-pura nggak tau, lagi. Sudah, buruan mandi sana. Paling lama lima belas menit ya. Habis itu kamu turun supaya kita bisa sarapan bareng. Lagi pula nggak baik kalau anak gadis tidur sampai siang." Belum dapat informasi apa-apa, Mama sudah menghilang di balik pintu. Meski masih heran dan penasaran, akhirnya Anneth melangkah ke kamar mandi.
--<><>--
Saat turun ke ruang tamu, Anneth masih belum menemukan tamunya. Matanya mencari-cari dengan cepat. Kosong. Baru saja saat mendengar suara tawa mamanya di ruang makan, Anneth bisa menebak dimana tamunya berada.
"Deven?" Tanya Anneth begitu tiba di ruang makan. Deven menoleh. Senyum lebar langsung tercetak di bibirnya. "Pagi, neth" sapa Deven ramah. "Lo nggak lupa kalau kita punya janji hari ini, kan?"
"Gue inget kita ada janji, Deven. Tapi nggak perlu sepagi ini, kan?" Omelnya sambil menarik salah satu kursi meja makan.
"Ini sudah siang, Anneth prasiscaagitha. Lagi pula, banyak yang harus kita lakukan hari ini. Semakin pagi kita mulai, semakin cepat kita selesai." Anneth menyipit curiga. "Memangnya hari ini kita mau ngapain aja?"
Deven tersenyum penuh misteri. "Sudah, cepat makan. Setelah makan lo juga akan tau." Dan lagi lagi Anneth tak punya pilihan selain menurut.
--<><>--
Hallo semua! Ini aku bawa cerita baru👌. Baca terus kelanjutan ceritanya ya! Hope you like this story!. Jangan lupa follow akun wattpad ini. Dengan kalian mem-follow akun wattpad ini, berarti kalian udah mensuport aku bikin cerita ini. Dan jangan lupa untuk nge-vote setiap ceritanya. Jika kalian nge-vote setiap ceritanya, berarti kalian pengen cerita ini di next! Oke guys. Thanks buat yang udah baca cerita ini.
Byee!!JANGAN SIDER!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Kita Untuk Kita. [Wattys2019]
Teen FictionHati Anneth hancur ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Aldi, pacarnya, mencium adik kelas yang menurut seisi sekolah jauh lebih cantik dan pintar darinya. kepercayaan diri Anneth sirna karena kejadian itu. Namun ditengah keterpurukannya...