AC-Ralize

72 4 0
                                    

Setelah sekian lama,
Melewati ada dan tiada,
Kau datang.
Bersama segenggam kepastian.
Selepas bertali dengan tunggu,
Yang sering kali dikunjungi jemu,
Kau menyapa.
Sambil memperkenalkan apa itu luka.

*

Entah dimulai dari sejak kapan, Nara selalu merasa kalau hatinya telah lama terikat dengan Lean, sahabat cowoknya dari jaman masih memakai seragam putih-merah. Sudah setahun Lean pergi merantau ke Negara Adidaya bersama dengan ayahnya, meninggalkan Nara yang makin hari makin merasa tersiksa oleh rindu yang bersemayam di hatinya.

Ditambah, Lean tidak pernah menghubunginya lagi setelah enam bulan berlalu.
Nara hanya takut kalau-kalau Lean lupa akan dirinya, atau diam-diam dia ingin Lean selalu mengingatnya? Itu wajar, bukan? Yang tidak wajar di sini adalah fakta bahwa Nara tidak ingin Lean hanya mengingatnya sebagai teman, dia ingin Lean mengingatnya sebagai orang yang lebih dari teman.

Rintik hujan menapaki kaca jendela yang ada di kamar Nara, seolah ikut serta dalam rangka menyempurnakan kesedihan yang sedang dirasakan cewek berambut lurus itu.
Terlepas dari perasannya terhadap Lean, Nara bukanlah cewek jutek yang hobinya melempar sarkasme pada cowok sehingga kebanyakan mereka takut untuk mendekati. Dia ramah, bahkan bisa dibilang tipe manusia yang easy going, sehingga tidak sedikit dari para cowok yang tidak lain dan tidak bukan, bermaksud dan ingin menjadikannya kekasih. Nara juga bukan bermaksud sok jual mahal dengan cara menolak mereka secara halus, tetapi hatinya sudah terlanjur disesaki oleh nama Lean.
Dan akan selalu Lean.
Terkadang, melintas dipikirannya untuk menyisihkan beberapa tempat di hatinya bagi cowok lain agar setidaknya dia berhenti menunggu Lean yang entah kapan akan dihadapkan dengan temu. Tidak jarang dia merasa kalau menunggu Lean itu membuat waktunya terbuang sia-sia, tetapi bodohnya dia malah terus melakukannya. Dia butuh waktu untuk melupakan semuanya, hatinya perlu ruang baru untuk menerima perasaan lain di dalamnya.

Waktu menunggu yang tidak singkat mendatangkan bosan kepada Nara, tetapi tetap saja dia tidak meninggalkannya. Nara tahu, dia adalah gadis tolol yang kerjaannya hanya menunggu tanpa tahu kenyataan pahit di masa depan yang kemungkinan besar akan meremukkan seluruh perasaannya sehingga menjadi kepingan tidak berbentuk.

Seharusnya, perasaan ini tidak tertancap dalam di hatinya kalau saja dia berani melepas seluruh pengharapan yang dia biarkan mengenai Lean. Tetapi tidak.
Meskipun kemungkinan bahwa Lean akan kembali sebagai temannya lebih besar, ada kepercayaan dalam diri Nara yang mengatakan bahwa pada saat Lean pulang, Nara bukan hanya sahabatnya. Melainkan lebih dari itu.
Nara tidak yakin-yakin amat, namun pengharapan itulah yang membuatnya bertahan sampai titik ini. Titik dimana meski jemu sudah sering menyelinap dalam tunggu, hatinya tetap teguh berdiri sampai berujung temu.

*

Beberapa bulan berlalu, waktu terus melaju, cuaca pasti berubah, tetapi tidak dengan perasaan yang Nara miliki terhadap Lean. Bedanya, akhir-akhir ini dia merindukan dengan rasa senang macam singa baru diberi daging mentah, alasannya sederhana; karena Mama mengabarkan bahwa Lean akan ke sini untuk menjenguk ibunya minggu depan.

Beberapa kali Nara ditegur oleh Mamanya karena tertangkap sedang senyam-senyum tidak jelas, perasaannya tidak karuan seiring dengan hari dimana Lean datang semakin dekat. Tidurnya tidak nyenyak karena terus kepikiran, di kelas melamun karena sering membayangkan bagaimana rupa Lean setelah pulang dari negara yang banyak bulenya seperti Amerika? Apakah akan lebih tampan daripada dulu, saat terakhir kali Nara lihat?
Hingga datanglah hari yang Nara tunggu-tunggu.

Kurva di bibir Nara tidak sekali pun jatuh searah dengan gravitasi. Rumah ibunya Lean sudah rapi ketika Nara datang, dia sengaja mempercantik dirinya dari subuh supaya terlihat kesan senang saat menyambut Lean nanti. Padahal nyatanya, dia ingin terlihat berkesan di mata Lean, dia gembira Lean datang karena dengan begitu, semoga saja apa yang didambakannya selama ini menjadi kenyataan.

Walaupun kecil kemungkinan.
Namun, Nara berkali-kali mengingatkan dirinya agar optimis. Meskipun jauh di lubuk hatinya, dia takut penantiannya sia-sia.
Suara mobil terdengar ketika Nara sedang membantu ibunya Lean menyiapkan aneka makanan di atas meja yang ada di ruang tamu. Jantung Nara tiba-tiba saja berpacu cepat seperti akan loncat dari tempatnya jika saja tidak dihalangi oleh tulang rusuk. Senyumnya terbit begitu saja saat pintu dibuka oleh ibunya Lean dan langsung memperlihatkan seorang cowok tinggi berkulit putih.
Tetapi senyum senang Nara setelah masuknya Lean ke rumah terasa sangat terpaksa ketika melihat orang lain masuk.
Perempuan.

Nara menyapa cewek yang seumuran dengannya, kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam spekulasi mengenai cewek itu. Kesenangannya sudah menguap sesaat setelah cewek yang memiliki rambut bergelombang itu muncul. Dia tidak benci, dia hanya kasihan pada dirinya sendiri.

“Kenalkan Bu, ini namanya Serena. And Serena, she is my Mom, my beloved woman in the world.” kata Lean memperkenalkan.

Nara yang melihat itu diam-diam gundah, sedikit kecewa juga karena Lean tidak ikut memperkenalkannya pada cewek itu. Namun, hatinya berbisik, memang kamu siapanya dia, Nara? Sadar diri.

“Eh aku lupa ada Nara. She is Nara, my lovely bestie, dan Nara... dia Serena, my dearest girlfriend.”
Dada Nara rasanya ditinggalkan oksigen, dia mendadak lupa caranya bernapas ketika mendengar kata itu.

Mamanya datang tidak lama kemudian, membawa banyak kotak kue sebagai sambutan hangat untuk Lean, saat berjabat tangan dengan Serena, Nara berusaha mati-matian untuk membuat lengkung senyum tercipta senatural dan terlihat setulus mungkin. Dia merasa tidak sopan jika tersenyum kepada Serena adalah sebuah paksaan.
Meski kenyataannya memang seperti itu.

Nara berjalan mengikuti yang lain menuju meja makan, waktu dihabiskan untuk menikmati setiap masakan yang telah disiapkan. Rasanya enak, tetapi lain lagi buat Nara, lidahnya malah mengecap rasa hambar. Tangan Nara mengambil gelas, lantas meneguk minum setelah dia merasa kenyang—padahal dia baru memakan satu perempat daging di atas piring. Harusnya jus itu rasanya manis dan asam sehingga meninggalkan sensasi segar pada dirinya. Namun, Nara malah merasakan sesuatu yang pahit melintasi tenggorokannya.
Bergegas, Nara mengayunkan langkahnya untuk pergi ke kamar mandi setelah diberi izin. Dia melihat pantulannya dari cermin, lalu tanpa bisa dicegah air matanya menetes melewati pipi. Mulutnya mengeluarkan isak pelan, bibirnya bergetar iba. Ada sesuatu di hatinya yang mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak terima, namun Nara memilih sadar kalau sebenarnya dia memang bukan siapa-siapa.

Lean datang dengan kepastian tentang penantian Nara selama ini, sekarang saat jawabannya sudah jelas terlihat, Nara tahu kalau sekarang waktunya berhenti.
Nara sadar, yang salah bukan Lean. Tetapi ekspetasi yang dia bangunlah yang membuatnya sesakit ini.

—The end—

---

Judul: Ralize
Written by : Fein
Wattpad.    : winkfire

ANTALOGI CERPEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang