"Maaf kak, tapi aku benar-benar tidak mengerti maksudmu apa."
"Maksud aku, kamu tuh jangan pernah lagi deket-deket sama Rani, cewek itu seb_" perlahan pandangan mataku mulai kabur dan suara laki-laki yang menjabat sebagai ketua OSIS itu menghilang.
"Pa, kakak sudah bangun!" Kudengar samar suara anak kecil di dekatku.
Entah sudah berapa lama aku tertidur seperti ini, atau mungkin disebut pingsan. Tapi dari suara milik anak kecil itu, sepertinya cukup lama hingga nada bicaranya begitu bahagia. Kulihat samar jam di dinding jarum jamnya mengarah lurus ke atas semua. Sepertinya sekarang pukul 12 siang, mengingat dari jendela aku dapat melihat cahaya matahari.
Bukankah aku pingsan waktu bertemu kakak ketua OSIS sepulang sekolah? Jadi aku sudah tertidur seharian, ini peningkatan.
"Benar-benar peningkatan." Benar kan, biasanya aku akan tertidur lebih dari dua hari.
"Bentar papa lihat dulu." Suaranya benar-benar kukenal, penuh kelembutan namun juga tegas.
Kumerasakan tanganku disentuh olehnya, diangkat, dan sedikit ditekan. Pemeriksaan seperti biasa, yah memang sudah biasa papa melakukannya. Aku tidak mengerti yang kurasakan apa dan aku memiliki sakit apa. Papa terlalu pandai menyimpan rapat rahasia tentang penyakitku.
"Hana bisa dengar suara papa kan?" Aku mengangguk.
"Kalau suaraku kak?" Itu suara adikku, aku mengangguk lagi bahkan lebih dalam. Dia tertawa kecil.
"Tapi pandanganmu kabur dan bahkan kamu tidak bisa bicara? Seperti biasanya?" Aku mengangguk lagi. Kudengar papa menghembuskan nafas kasar.
"Oke, kamu istirahat dulu ya sayang." Papa lagi-lagi memberiku waktu untuk istirahat. Bolehkah aku beristirahat dari istirahat ini?
"Papa, lapar..." Adik kecilku ini semakin manja saja rasanya. Meski pandanganku masih terasa kabur tapi aku bisa melihat wajah manjanya itu. Aku tersenyum lalu mengacak kecil rambutnya.
"Biar saya saja pak yang menjaga Hana. Bapak pulang dulu saja, istirahat terlebih dahulu." Usul seorang perempuan yang berbaju putih, mungkin perawat.
"Yuk, kita pulang dulu kalau begitu. Kita beri kabar gembira buat mama." Usul papa langsung diberi anggukan oleh adik manisku.
"Nino pulang dulu ya kak, pengen makan." dia ijin ke aku, uh, lucu banget. Aku hanya mengangguk lalu membentuk 'ok' dari jariku.
"Papa sama Nino pulang dulu, ngabarin mama. Kak Reni bakal nungguin kamu kalo ada perlu apa-apa." Aku mengangguk lagi menyetujui ucapan papa.
Aku hanya mengangguk karena kurasa leherku masih sakit jika aku harus mengeluarkan banyak suara. Jadi kuputuskan untuk tidur setelah papa dan Nino keluar. Bukankah aku masih disuruh istirahat tadi? :))
Pukul 14.06, aku sudah tertidur dua jam ternyata. Wah, ternyata bisa-bisanya aku tertidur lagi padahal sudah tidur seharian. Kulihat mamaku duduk di sofa yang tersedia di ruanganku.
"Gimana kabarmu kak?" Tanya mama, basa-basi seperti biasa.
"Baik ma, mama juga baik kan?" Mama mengangguk mendengar jawaban dan pertanyaan balikku. "Papa sama Nino mana ma? Kok nggak ada?"
"Papa ada kerjaan, tari katanya ada kecelakaan. Kalau Nino tadi ketemu sama temen kamu, diajak ngobrol diluar tadi."
Kulihat kepala Nino muncul dari balik pintu, hanya kepalanya saja. Aku tertawa melihatnya yang seperti itu. Tingkahnya selalu bisa mengembalikan moodku.
"Kak, aku ada hadiah buat kakak. Coba tebak apa." Ucapan Nino membuat semua orang di ruanganku tertawa, hanya aku dan mama sih sebenarnya. Tapi tetap saja kan, seruangan.
"Apa? Makanan enak?" Tebakku. Dia menggeleng. Aku berpura-pura agar dia bahagia bila aku mampu menjawabnya.
"Kue?" Menggeleng lagi, sebenarnya apa yang dirahasiakannya sebagai hadiah itu?
"Ayam goreng? Permen? Jeli? Puding? Burger?" Dia menggeleng terus. Psst, apa dia marah? Astaga, lucu sekali, pingin kucubit. Aku harus menjawab terus atau bahkan aku harus berhenti menjawab agar dia memberikan jawabannya.
"Apa dek? Kakak tidak tahu." Aku menyerah, dia terlalu lucu. Jadi kuputuskan untuk menyerah saja daripada melihat wajahnya semakin ingin kucubit lagi.
"Tada..."
'Kak Rio? Kenapa dia kesini?' kulihat Kak Rio memasuki ruang inapku sambil ditarik oleh Nino. Aku bingung harus berekspresi seperti apa, senang, sedih, atau apa. Namun melihat ekspresi Nino yang sepertinya sedih melihat hadiahnya aku berpura-pura untuk membentuk sabit di bibirku.
"Kak, mama beli makanan buat makan malam dulu ya." Ucap sambil mengelus tanganku.
"Mama Nino ikut dong. Kan Nino nanti malam juga makan .." teriak Nino sambil mengejar nama yang sudah berada diluar.
"Tidak perlu berpura-pura tersenyum seperti itu hana." Ucapan Kak Rio membuyarkan lamunanku.
"Kenapa kak? Urusan OSIS sudah selesai? Kok tumben pulang awal?" Aku melontarkan pertanyaan itu.
Dia mendekat ke arahku lalu duduk di kursi samping ranjangku. Tangannya dengan mudah mengambil tangan kiriku yang diinfus lalu menggenggamnya kuat. Aku menatapnya bingung.
"Maafin aku han." Kak Rio memulai mengucapkan kalimat yang entah kenapa membuatku semakin bingung.
"Kok minta maaf?" Jujur aku bingung.
"Maafkan aku terlambat memberitahumu, Maafkan aku yang kurang memerhatikanmu, maafkan aku, aku memang tidak bisa menjagamu, aku lemah, aku terlambat, aku bodoh, aku_"
"Sst," telunjuk tangan kananku kuarahkan ke mulutnya, entah keberanian darimana aku melakukannya. Namun kemudian Kak Rio mengambil telunjukku dengan tangannya yang tidak memegang tanganku yang diinfus. Entahlah, dia seperti enggan melepaskannya. Dia kemurian menurunkan telunjukku dan tetap memegangnya. Oh tuhan, kedua tanganku dipegang olehnya.
"Aku takut kalau kamu pergi han. Kumohon jangan pergi." Ucapannya kali ini benar-benar membuatku mengerutkan kening, benar-benar tidak paham dengannya.
"Jangan mengkhawatirkan hal yang akan terjadi. Aku memang tidak tahu aku sakit apa dan apakah bisa sembuh. Tapi memang itu akan terjadi kepada siapapun. Aku tahu dengan ini pun untuk kebaikanku. Kalau saja memang aku tidak bisa sembuh," dia hendak menyelaku namun kugerakkan tanganku sebagai tanda agar dia tidak menyela ucapanku.
"Lanjutkan saja,"
"Jadi, karena itu aku selalu berfikir bahwa itu adalah hari terakhirku. Aku harus melakukan yang terbaik setiap harinya agar orang-orang bisa mengenangku dengan baik pula. Begitulah, jadi jangan_"
Dia memelukku sehingga aku tidak bisa melanjutkan ucapanku dan malah meneteskan air mata. Entah bagaimana, aku menangis. Dia pun sepertinya begitu.
Aku pun tidak tahu apa yang terjadi kepadaku, aku tersenyum dan membalas pelukannya. Dia hangat, hanya itu yang kuketahui darinya. Ternyata dia lebih dari sekedar hangat, dia lembut, kasih sayang, dan keren. Entah kenapa aku jadi tersipu memikirkan bahwa sekarang orang sempurna di pandanganku ini memelukku sekarang. Bahkan dia tadi mengatakan agar aku jangan meninggalkannya. Padahal dia tidak mengatakan apapun sebelum ini.
"Maafkan aku han, tapi kumohon kamu berjuang. Aku akan membantumu berjuang. Maafkan aku, tapi kumohon_" dia sedikit melonggarkan pelukannya demi mengatakan hal itu.
"Baiklah." Aku menghentikan ucapannya. Karena sepertinya dia akan mengulang kalimatnya.
Dia kembali memelukku erat. Dia membuatku bingung saat ini. Haruskah aku bertanya kepadanya? Atau ada yang tahu dia kenapa?
---
Judul : Senja Yang Terakhir
Nama: Luthfi Azzahra
Nama akun wp : fiazza
Nama akun ig. : luth.fiazza
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTALOGI CERPEN ✔️
Historia CortaPrivat Acak! Seperti biasa kami datang, datang dengan hal baru. Meyakinkan mereka untuk tidak lepas dari berkarya dan terus berkarya. Menjadikan satu kesatuan kata yang sangat memikat mata. Merasakan setiap kata yang ada dan ikut di dalam ceritanya...