AC-Can I

70 3 0
                                    

Bulan menatap teman-temannya yang sedang heboh menceritakan pengalaman masing-masing ketika menonton Dilan 1991 bersama kekasihnya. Bagi Bulan, cerita mereka terdengar begitu palsu dan terkesan dibuat-buat. Mereka hanya membual dan berrniat pamer kepada orang lain bahwa mereka punya pacar. Padahal, ia sangsi apakah mereka benar-benar mengetahui dan menonton filmnya, atau sekadar membeli tiket konser, mengambil foto tiket masuk bioskop, dan setelahnya membuat insta story bersama kekasihnya, tapi tidak tahu cerita yang ditonton.

Bukan karena Bulan iri pada gadis-gadis itu, ia hanya tidak suka dengan para gadis yang senang memanipulasi sesuatu hanya untuk mendapat pujian dari orang lain. Sementara mereka sendiri tidak tahu, apakah respon orang lain benar-benar tulus, atau justru mencibir di belakang.

“Hei!” Bulan berjengit kaget ketika seseorang setengah berteriak tepat di telinganya disertai dengan tepukan di bahu. Mengatur degup jantungnya, Bulan berdecak kecil sembari menoleh kesal.

Namun begitu melihat siapa orang yang mengejutkannya tersebut, Bulan urung emosi, dan memilih membetulkan posisi duduknya.

“Pandu, ih! Kaget aku. Ada apa sih heboh banget,” Ucap Bulan.

“Cie... sayangnya Pandu marah.” Jawab Pandu menggoda Bulan. “Lucu deh. Jadi tambah sayang.” Lanjut remaja itu membuat Bulan setengah tersipu.

“Jangan bersedih, kau jelek jika cemberut. Kita memang bukan, pasangan sempurna. Bukankah Tuhan mengirimmu, untuk melengkapiku. Aku tidak perlu, punya segalanya. Selama kau ada disini, hidup kan baik-baik saja.” Pandu menyanyikan lirik lagu dari Fiersa Besari – Hidup kan Baik-baik saja tersebut tanpa merasa canggung ataupun malu.

Tentu saja perlakuan itu membuat Bulan mau tidak mau menarik dua sudut bibirnya. Pandu memang tidak seperti kekasih teman-temannya yang bisa diajak foto bersama lantas di unggah di sosial media, atau membelikannya apapun yang diinginkan. Pria itu lebih sering menunjukkan langsung kepada Bulan, apa yang ingin ia lakukan untuk gadisnya. Seperti lagu tadi misalnya. Tanpa harus diminta atau berniat menunjukkan pada orang lain, Pandu menyanyikannya untuk membuat Bulan tidak marah lagi. Jika pria lain cenderung melakukan kegiatannya dengan kekasih agar orang lain bisa tahu kalau hubungan mereka nampak baik, Pandu justru melakukan apapun yang menunjukkan kepada Bulan bahwa hubungan mereka memang baik.

“Iya, aku gak marah.” Ucap Bulan membuat Pandu turut tersenyum lantas mengeluarkan sesuatu dari saku celana seragamnya.

“Jangan marah lagi, ya. Jangan capek-capek juga. Aku takut kalau kamu udah banyak fikiran terus marah dan diemin aku.” Ucap Pandu mengeluarkan sebuah cokelat dan memberikannya kepada Bulan.

“Kamu apaan sih. Siapa juga yang marah dan banyak fikiran.” Elak Bulan menerima cokelat dari tangan Pandu.

“Jangan bohong, mata kamu gak bisa nipu aku, ya. Angga juga cerita kalau kamu dalam suasana hati yang buruk sejak tiga hari lalu. Kamu capek?” tanya Pandu.

“Aku hanya sedikit kesal.” Jawab Bulan setengah enggan bercerita. Gadis itu bisa mendnegar Pandu menghela napas panjang dan menepuk pelan lengannya.

“Apapun yang kamu lakukan, ingat kalau aku selalu mendukung kamu. Aku percaya sama kamu dan kamu harus lebih percaya atas kemampuanmu. Ingat? Kalau lagi kesel atau marah, kamu bisa hubungin aku. Aku akan dengerin cerita kamu atau jadi samsak kamu kalau mau mukul.” Kekeh Pandu.

“Aku mau tidur,” Ucap Bulan akhirnya.

“Iya, nanti pulang sekolah, kamu istirahat.” Ucap Pandu mengacak pelan puncak kepala kekasihnya, lantas menyuruh gadis itu masuk ke dalam kelas sebab bel masuk sudah berbunya satu menit lalu.

Bulan melihat punggung Pandu yang sudah menghilang di balik belokan. Gadis itu menatap cokelat di tangannya dan tersenyum. Betapa beruntungnya ia mendapatkan Pandu. Sayangnya, tidak semua hal yang kita anggap akan berjalan baik, terus begitu jalurnya. Siklusnya selalu berubah. Dan bahagia yang di dapatkan, kadang-kadang sifatnya sementara untuk menutupi sakit yang akan datang begitu besar bentuknya.
Bulan sedikit tergesa ketika berjalan menuju rumah salah satu temannya. Ia harus mendatangi rapat untuk acara yang akan diselenggarakan dua hari lagi.

Namun, langkahnya mendadak berhenti ketika retinanya bertemu dengan sosok Pandu yang berdiri tidak jauh darinya. Kekasihnya itu tengah bicara sesuatu dengan seorang gadis yang masih memakai seragam SMA. Mendadak perasaan tidak enak menyelimuti Bulan. Ia tidak mau menebak-nebak sesuatu yang belum pasti dan menyimpulkan sendiri.

Namun, kenyataan menamparnya telak, sebab  setelah beberapa saat Pandu memeluk erat gadis itu. Bulan masih diam di tempatnya, untuk memastikan kemungkinan terburuk tentang identitas gadis itu. Sekali lagi, ia mendapat bonus begitu melihat gadis yang dipeluk Pandu adalah mantan kekasih pria itu. Clarissa. Bulan tidak ingin berfikiran negatif, tapi jika mengingat betapa Pandu mencintai Clarissa di masa dulu, dan tingkah keduanya barusan, ia tidak bisa memikirkan kemungkinan baik lain.

Dadanya sesak dan pandangannya mengabur. Sebelum ia berbalik, matanya melihat Pandu kembali memeluk dan mencium puncak kepala Clarissa.

Bulan berbalik sembari menghapus air matanya yang tidak mau berhenti keluar. Kembali ke rumahnya, ia mengatur napas sejenak dan mengambil air lantas mencuci wajahnya. Setidaknya Bulan tahu, kalau Pandu memang belum bisa sepenuhnya melepaslkan Clarissa. Dan jelas ia tahu, kalau melupakan cinta pertama, tidak pernah semudah itu. menarik napas panjang, setelah merasa lebih bisa mengontrol perasaannya, Bulan kembali berjalan menuju rumah temannya untuk rapat. Ia tidak bisa membawa urusan pribadi dan mengorbankan kepentingan organisasi. Meskipun rasanya menyesakkan dan membuatnya harus menahan diri, Bulan berusaha menjadi lebih profesional atas pekerjaannya.

Sampai di rumah Iza, beberapa orang sudah berada di sana, dan melakukan tugasnya sendiri. Bulan menyapa satu per satu dari mereka dan berusaha fokus pada rapat yang berlangsung.
Selesai rapat, gadis itu menatap kosong gelas berisi kopi hitam di depannya. Bayangan saat Pandu memeluk dan mencium Clarissa berputar kembali di kepalanya. Memejamkan mata sejenak, Bulan mengambil gelas kopi miliknya dan meminumnya dalam beberapa tegukan sampai tandas.

“Bulan.” Mendengar namanya dipanggil, Bulan menoleh dan mendapati Angga berada di sampingnya.

“Gimana, Ngga?” tanya Bulan.

“Kamu sedang ada masalah dengan Bang Pandu?” tanya Angga.

“Tidak. Aku hanya capek.” Bohong gadis itu.

“Bang Pandu memang kembali berhubungan dengan Clarissa.” Angga mulai bercerita dan berhasil menarik perhatian Bulan. “Satu bulan lalu, Clarissa bicara padaku bahwa dia tidak bisa melepas Pandu. Sampai akhirnya keduanya kembali bertemu dan kufikir mereka ... “ Angga menggantung kalimatnya, tapi Bulan faham maksud pria itu. mengangguk kecil, Bulan harus segera mengambil keputusan.

Apakah melanjutkan hubungannya, atau berhenti. Sedangkan Bulan tidak tahu, bahwa ketika ia khawatir dan takut, ada seseorang yang diam-diam turut khawatir jika gadis itu bersedih. Ada yang tidak senang melihat Bulan bersedih atau merasa terbebani. Dan pria itu kini tengah menepuk-nepuk pelan bahunya tanpa suara. Hanya melihat, memberikan Bulan waktu untuk mengambil keputusan. Berharap ia memiliki kesempatan, meskipun harus dengan cara menyakitkan.

Angga benar-benar berharap akan itu. Jika bukan mendapatkan Bulan, ia berharap, setidaknya mendapatkan kembali senyuman gadis itu. Bisakah Angga?   

---

Judul: Can I
Nama             :Hudatun Nurrohmah
Nama akun Wattpad    : Hanogesd
Nama akun Instagram : @hanogesd

ANTALOGI CERPEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang