ARETHA

19 0 0
                                    

ARETHA
Oleh. Neni Suheni

"Ibu cemas saat tahu Claudia nyariin kamu!" suara ibu terdengar gemetar ketika membantuku mengepak beberapa baju ke dalam tas.

"Cemas kenapa, bu? Bukankah ibu sudah mengenal baik Claudia dan dia... selalu menolong kita!" Aku berusaha menenangkannya seraya menerima sehelai handuk yang sudah terlipat rapi, "ibu jangan kuatir, kita akan melakukan video call nanti!" Aku melambaikan sebuah ponsel baru kemudian meletakan pada telapak tangannya yang mulai  keriput.

"Darimana kamu dapat ini?" tanyanya ragu, "gajimu sebagai pengasuh anak-anak gak mungkin bisa membeli benda semahal ini!"

Aku tersenyum kemudian beranjak menghampirinya. Kupapah ibu untuk duduk bersamaku di samping tempat tidur.

"Sini! Aku akan ngajarin ibu gunakan ini. Jadi kapanpun ibu merindukanku, kita akan bisa bertemu." jariku menuntun ibu dan memandunya menggunakan ponsel tersebut, ketegangan di wajahnya mengendur ketika panggilan dengan nomor satu langsung terhubung dengan ponselku yang tergeletak di atas meja.

Dia tersenyum kemudian mengangkat kedua alisnya ketika aku tidak beranjak mengambil ponsel.

"Apa?" Aku berusaha menahan tawa ketika ibu memintaku mengangkatnya seraya mengerucutkan bibir.

Tak ayal aku pun tergelak seraya berlari mengambil ponselku.

"Assalamuallaikum, Nak!" Sapanya.

Kedua mataku mengerjap, roman wajah ibu terlihat serius. Mata kami bertemu.

"Waalaikumsallam, Ibu!" Aku membalas salamnya dengan suara gemetar.

"Maafkan, ibu. ya, Nak!"

"Kenapa, ibu berkata seperti itu?" Aku menggelengkan kepala ke arahnya.

"Karena ibu tidak bisa memberimu kehidupan yang layak. Bahkan kuliahmu harus ditunda hanya karena karena ibu tidak bisa membayar SPP. Ibu tahu, kamu pasti ingin seperti teman-temanmu, bisa ke sana kemari tanpa harus dibebani oleh kedua adikmu." tangisan ibu akhirnya pecah, tapi dia segera menggelengkan kepalanya ketika melihatku hendak menutup panggilan teleponnya.

"Jangan dimatikan. Nak! Ibu malu ketika bicara langsung padamu."

Aku bergeming dan hanya mampu melihatnya, ibu berusaha untuk tetap menegakan tubuhnya. Sisa kecantikan di masa remaja itu telah tergerus oleh usia.

Ah, wanita ini. Adalah sosok remaja yang dibutakan cinta kala itu, dimana dia dengan berani menentang kehendak orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan seorang priyayi yang tentu saja akan lebih setara dengannya ketimbang ayahku yang hanya seorang anak tukang kebun. Yang dicintainya hingga mereka menua bersama dalam lilitan kemiskinan.

Dan pria itu, yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung memeluk ibu seraya mengirimkan tatapan mata berkilat marah padaku karena telah membuat wanita kesayangannya menangis adalah ayahku.

Ibu mendorongnya halus ketika ayah berusaha memapahnya keluar. Pada akhirnya ayah pun hanya duduk di sampingnya. Menunggu hingga isakan ibu berhenti dengan sendirinya.

"Ini, lho. Pak!" Ibu mulai bisa menenangkan dirinya dan langsung menunjukkan ponsel tersebut, "Retha beliin ibu ponsel! Katanya kita nanti bisa lihat dia kapanpun. Bapak mau nyoba?" tanyanya seraya menyorongkan ponsel tersebut ke arahnya.

Bapak menatapku curiga, "darimana itu?" tanyanya gusar.

Aku tersenyum kemudian mendekati mereka.  Kujatuhkan diriku hingga duduk bersimpuh di hadapan keduanya.

"Ayah... ibu... jangan kuatir. Retha tahu mana yang benar dan salah. Tak pernah sekalipun Retha melakukan hal-hal yang tidak baik, jadi percayalah semuanya akan baik-baik saja. Besok Retha akan berangkat kerja dan... selama setahun Retha tidak di sini. Tolong jaga kesehatan ayah dan ibu. Biaya therapy Banyu dan Bara sudah Retha persiapkan, jadi selama Retha gak ada ayah jangan khawatirkan masalah biaya lagi!"

ARETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang