ARETHA
Oleh. Neni Suheni'Petra Abimanyu!' Tanpa sadar aku mengucapkan nama itu ketika sayup kudengar suara deritan pintu kamar yang dibuka seseorang dari luar.
Jantungku seketika berdetak kuat. Aku bangun dan terduduk waspada.
Kosong, tidak ada siapapun. Mataku menyipit dan langsung beranjak keluar setelah sebelumnya menyambar ponsel.
Aku berjalan pelan-pelan mengitari rumah, hanya ada tiga kamar di lantai dua ini. Rumahnya terkesan sunyi bahkan tak ada hiasan apapun pada dinding berlapis batu bata merah tersebut. Satu-satunya hiasan hanyalah keberadaan sebuah jam dinding kayu yang tingginya hampir mencapai daguku dan diletakan mencolok, dekat undakan anak tangga terakhir. Posisinya seperti seorang penjaga pintu yang menyambut kedatangan tamu.
Aku tersenyum ketika mendengarkan detakannya yang seolah memiliki irama yang sama dengan detakan jantungku. Keberadaannya di sana membuat perasaanku sedikit nyaman. Setidaknya aku tidak sendirian di sini.
Sebuah pintu dari salah satu kamar terbuka disusul bayangan seseorang muncul. Refleks aku mundur beberapa langkah. Mata kami saling bertemu. Segera kutundukkan wajah ketika teringat bahwa aku telah menandatangani surat perjanjian dimana salah satunya adalah ini.
Sekuat tenaga kulawan keinginanku untuk tidak melihat wajahnya yang ditutupi sebuah topi hitam.
"Aretha?" terdengar suara baritonnya ketika menanyakan namaku.
Aku menganggukan kepala.
"Sudah kamu baca surat perjanjiannya?"
"Su... sudah, Pak!" Aku menjawab dengan gugup.
"Pak?" suaranya terdengar mengintimidasi.
"I... iya, Pak!"
"Aku tidak menyukai panggilan itu!"
Aku terkesiap tanpa bisa mengucapkan apa pun. Udara di sekitarku terasa membeku. Aku masih berdiri ketika pria yang duduk di atas kursi roda itu membelakangiku, kemudian menutup pintu kamarnya kembali.
Ruangan itu kembali sunyi yang tertinggal hanyalah suara detak jam dan detak jantungku sendiri yang kali ini memiliki irama tidak sama dengannya.
Aku menarik napas kemudian menuruni tangga. Perutku sepertinya minta diisi, sepiring kue basah yang diberikan bu Jumi siang tadi, mana mungkin bisa mengganjalnya hingga tengah malam nanti.
'Dapur' Aku berjalan hingga jauh ke belakang. Tak ada dapur yang aku maksudkan. Lantai satu hanya berupa ruangan terbuka tanpa sekat dengan sebuah sofa yang diletakkan di salah satu sudutnya. Pada masing-masing dinding terdapat rak yang dipenuhi buku hingga membentuk beberapa tingkatan.
Mulutku terbuka. Aku seolah tengah berdiri pada sebuah ruangan perpustakaan. Dengusan napasku bahkan terdengar putus asa ketika menyadari jika aku akan berada di tempat seperti ini hingga setahun ke depan. Ponsel pintar yang konon bisa membawaku melihat dunia luar pun seolah tidak bisa menunjukkan kekuasaannya. Dia terdiam ketika sinyal tidak mampu menghidupkannya.
Aku kembali melangkah, mencari ruangan yang sekiranya pantas disebut dapur. Kemudian jatuh terjengkang ketika kakiku terantuk seseorang.
Bu Jumi sama kagetnya. Ketika melihatku terjatuh seperti karung goni yang diempaskan ke lantai. Buru-buru dia mendatangiku.
"Aduh, maaf. Mbak!" serunya seraya menepuk-nepuk tanganku.
Aku tergelak demi menutupi rasa malu kemudian berusaha bangun.
"Saya baru mau memanggil, Mbak. Udah lapar, kan?" tanyanya.
"Ah, iya. Bu!" seruku dengan wajah merona.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARETHA
RomanceApa yang akan kau lakukan saat ada seseorang yang memberikanmu uang dalam jumlah banyak? Sementara kau sadar benar bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya, "gratis."