ARETHA

4 0 0
                                    

ARETHA
Oleh. Neni Suheni

Aretha mengusap tengkuknya. Dia bergidik ngeri. Entah kenapa kehadiran Daniel di taman membuat hatinya was-was. Ada hal aneh dari senyuman dokter muda tersebut dan itu membuat perasaannya tidak tenang. 'Aku harus waspada!' Berulangkali dia mengingatkan dirinya sendiri. Kemudian langkahnya terhenti, kemarin siang dia tidak terlalu memperhatikan keseluruhan rumah besar berlantai dua tersebut. Matanya mengedar dan merasakan jika hal apapun yang berkaitan dengan seorang Petra akan selalu cocok dengan keganjilan.

Taman di hadapannya itu memiliki kondisi yang sangat kontras dengan taman yang baru ditinggalkan. Deretan bunga berwarna -warni dibiarkan tidak terurus bahkan ilalang mulai meninggi, sekilas jika dia hanya melihat dari luar pekarangan tersebut maka rumah itu hanya sebuah gambaran rumah tua yang tak berpenghuni.

Dengan langkah lebih berhati-hati dia pun memutar arah. Tujuannya kali ini adalah bangunan lain yang dijadikan dapur. 'Jam tujuh lewat lima puluh dua' terlalu lambat baginya untuk sarapan karena biasanya dijam enam pagi sebelum dia berangkat kerja pada salah satu tempat penitipan anak. Ibunya telah menyiapkan sarapan meski hanya berupa nasi putih dengan telur mata sapi yang akan disantapnya dengan penuh rasa syukur.

Hatinya mencelos ketika mengingat hal remeh yang kini dirindukan. Seraya mereka-reka adegan dimana rutinitas harian keluarganya itu selalu sama selama bertahun-tahun.

Ibu sebelum adzan subuh berkumandang sudah terlihat sibuk di dapur. Sementara ayahnya juga terlihat sibuk memandikan si kembar---Bara dan Banyu---karena dua jam ke depan mereka berdua akan segera berangkat ke sekolah khusus dimana gaji ayah sebagai buruh pabrik plastik selalu tidak mencukupi untuk melunasi SPP keduanya.

Itu pula yang membuatnya berpikir dua kali untuk melanjutkan kuliah karena gajinya sendiri sudah habis untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. 

Maka ketika Claudia seolah ditakdirkan untuk melengkapi perjalanan hidupnya. Sepertinya wajar jika dia menganggap itu adalah jawaban dari semua do'a yang dilangitkannya selama ini.  

Aretha tersenyum ketika bu Jumi melambaikan tangannya dengan ramah. Dipersilakannya Aretha duduk dan wanita paruh baya itu menolak tegas ketika Aretha bangkit hendak menolong. 

"Kita sudah punya tugas masing-masing. Mbak. Kerjaan mbak sendiri nanti akan lebih banyak daripada saya!"

Aretha mengangguk setuju. Terbayang kembali jadwal tugas yang berusaha dihapalnya kemarin. Dia mendengkus kemudian mulai mengambil selembar roti kering beraroma bawang putih. Banyaknya ragam makanan di atas meja malah membuatnya kebingungan untuk memilih.

"Cocolkan roti itu disup krim hangat ini. Mbak!" Saran bu Jumi seraya meletakan semangkuk sup krim beraroma udang di hadapannya.

Aretha mengangguk. Tapi hanya memandangi sup tersebut sekilas, pikirannya tengah berkelana menjamah sudut-sudut rumah rumah besar itu yang kini seolah lebih menjulang tinggi ketika pendar cahaya matahari memayunginya.

Bu Jumi terlihat sibuk menyiapkan beberapa buah tempat makanan dan dua kotak yogurt seukuran satu liter. Mereka di susun sedemikian rupa pada sebuah keranjang rotan yang terlihat mengilap.

"Apakah itu untuk pak Petra?" tanyanya.

Bu Jumi mendongak kemudian mengangguk, "jam sembilan bapak biasanya sarapan buah dan minum yogurt."

Aretha terbengong melihat lima buah kotak berisikan buah-buahan yang disusun berdasarkan warnanya.

"Kenapa harus disesuaikan warnanya gitu. Bu?  Apa bedanya anggur hijau dan merah? Toh mereka sama-sama buah anggur?"

"Ah, ini!" bu Jumi menunjuk kotak pertama dan kedua yang berisi buah tersebut. "Bapak suka keteraturan, lihatlah!" bu Jumi mengangsurkan kotak lainnya yang berisi buah semangka. Dimana setiap potongannya memiliki sisi yang sama. "Ini ukurannya empat centi, gak boleh lebih ataupun kurang. Dan ini... buah kiwi, harus dipotong dadu dan mereka memiliki ukuran 3 centi."

ARETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang