ARETHA

4 0 0
                                    

ARETHA
Oleh. Neni Suheni

Sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir di sebrang jalan, depan rumahku. Mobil yang sama ketika dua hari lalu membawa Claudia pergi.

Aku melangkah bergegas setelah sebelumnya menyalami ayah dan ibu, tak lupa memeluk kedua adikku yang tergolek di dipan kamar. Ibu menyusut sudut matanya ketika mobil itu melesat meninggalkan rumah yang selama ini menaungiku.

Pak supir memperlambat lajunya ketika menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat padaku.

'Amplop lagi?'

Segera kubuka amplop tersebut yang berisi dua lembar kertas bermaterai. Alisku bertaut ketika menemukan nama lain selain namaku dan Claudia tertera di sana.

Sementara mobil semakin melaju jauh meninggalkan Kota Medan yang sibuk.

"Kita mau kemana, pak?" Aku mencoba memberanikan diri membuka percakapan ketika sudah menempuh dua jam perjalanan dengan medan jalan yang semakin menukik ke arah perbukitan.

Pak supir hanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus ke jalanan yang mulai mengecil dan curam. Aku berusaha bersikap tenang sambil mencoba mencari sinyal pada ponsel pintarku, 'sial, gak ada sinyal sama sekali!' Aku menggerutu sendiri.

Hatiku mulai merasa cemas ketika mobil memasuki kawasan hutan. Dimana kiri dan kanannya tidak kutemukan kendaraan lain yang berpapasan. Jalanan itu menunjukkan satu arah dan hanya memuat satu kendaraan saja, jadi mustahil jika aku menemukan kendaraan lainnya di sini.

Kemudian mobil berhenti tepat pada sebuah gerbang tinggi berwarna hitam dimana setiap dindingnya dirambati bunga kertas yang sedang mekar dengan aneka warna yang seketika membuat mulutku terbuka, aku terpesona.

Gerbang itu terbuka ketika pak supir menekan sebuah tombol yang terhubung dengan mobilnya.

Sebuah rumah mewah terkesan kuno berdinding batu bata merah tanpa semen kini terpampang di hadapanku. Beberapa dedaunan dibiarkan mengering bahkan deretan bunga sepatu dibiarkan tumbuh tak terurus. Aku bergidik ngeri ketika merasakan kesenyapan yang bersumber dari rumah tersebut. Kemudian menggigit bibir ketika pak supir untuk pertama kalinya membuka suara.

"Kita sudah sampai!" serunya pendek ketika melihatku masih duduk di kursi penumpang. Menyadari sikapku yang ketakutan ekspresi wajahnya melunak, "jangan takut, saya juga tinggal di sini... itu!" tunjuknya pada sebuah rumah kecil yang sepertinya sengaja dibangun tidak jauh dari rumah utama, "saya dan istri tinggal di sana!"

Aku berusaha menenangkan diri kemudian mengikuti langkah pak supir yang membawa serta tas berisi barang-barangku.

Seorang wanita paruh baya menyambut kami dengan muka panik, "Bang, buruan jemput bapak. Ini dah hampir telat!" serunya. Kemudian pandangannya beralih padaku, "mbak Aretha?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Sini!" panggilnya seraya menggamitku memasuki rumah besar berlantai dua tersebut. Sementara pak supir kembali melesatkan mobilnya keluar.

Aku melongoknya sebentar. Seraya mengira-ngira kecepatannya.

"Panggil saya bu Jumi, suami saya tadi namanya pak Saim. Kami telah bekerja di sini selama bertahun-tahun. Oya, ini kamar, Mbak!" jelasnya sambil membuka sebuah pintu kamar, dengan sopan bu Jumi menyilakan aku masuk.

Aku memasuki kamar tersebut dengan langkah ragu. Sebuah kamar yang kuperkirakan luasnya melebihi luas ruang keluarga, di rumah kami. Tanpa sadar aku berdecak kagum ketika barisan perbukitan terlihat jelas dari jendela kamar.

"Mbak istirahat saja dulu, sebentar lagi saya bawakan teh hangat dan makanan kecil. Emmm... apa mbak juga sedang diet?" kedua bola matanya memperhatikanku dari atas hingga bawah, aku buru-buru menggelengkan kepala dengan wajah merona. "Ah, syukurlah. Setidaknya mbak bisa mencoba masakan saya nanti. Soalnya kalo mbak Claudia yang kemari dia hanya makan buah dan sayur saja!"

Aku hanya tersenyum kecil mendengar penjelasannya. Tentu saja Claudia akan melakukan hal seperti itu, sedari dulu dia terobsesi menjaga kestabilan berat badannya hingga beratnya tidak pernah melampaui batas dari berat idealnya.

Aku menghela napas ketika menyadari jika Claudia telah melewati banyak hal untuk mencapai itu seraya menyentuh kedua pipiku yang sepertinya semakin berisi.

Bu Jumi kembali masuk dengan membawa serta segelas teh manis dan sepiring kue basah. Aku tersenyum dan langsung meneguk airnya hingga habis.

"Maaf, bu!" Aku tersipu malu ketika melihatnya tersenyum.

"Ish, kenapa pulak minta maaf. Ibu malah senang kalau melihat tamu yang gak pura-pura kayak mbak. Haus, ya minum sampe habis, lapar, ya dimakan juga kuenya!"

"Ah, iya. Saya haus!"

"Nah, di sudut kamar ada kulkas mini. Tadi pagi udah saya isi tapi kalo mbak butuh minuman yang hangat, mbak nanti turun saja ke dapur. Ya!"

"Ah, iya. Bu. Terima kasih!"

"Baiklah, sekarang mbak istirahat dulu. Tar lagi bapak pulang!" jelasnya sambil beranjak.

"Tunggu, bu!" Aku segera mencegahnya keluar, "apa di sini tidak ada sinyal? Saya harus memberi kabar pada orang tua!"

"Ah, mbak pake kartu apa?" tanyanya seraya menelekan kepalanya pada ponsel yang kugenggam.

Aku menyebutkan salah satu provider yang dijawabnya dengan helaan napas dan anggukan kepala.

"Tar, saya minta tolong suami membelikan kartu baru, ya. Yang itu gak bisa pake di sini!"

"Oh, ok... berapa?" Aku segera membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu yang langsung ditepisnya dengan halus.

"Jangan! Tar, bapak marah sama saya." jawabnya sambil keluar kamar dengan tergesa-gesa.

Aku terbengong beberapa saat untuk kemudian mencoba kembali mencari sinyal pada ponselku.

Pada akhirnya aku menyerah. Rasa letih dan mengantuk sepertinya lebih menggodaku. Aku terbaring dengan mata nanar mengamati langit-langit kamar.

'Petra Abimanyu!' Tanpa sadar aku mengucapkan nama itu ketika sayup kudengar suara deritan pintu kamar yang dibuka seseorang dari luar.

Jantungku seketika berdetak kuat. Aku bangun dan terduduk waspada.

***
Medan, 11 February 2019
#CatatanNeni
#ArethaPart_3
#MenulisFiksi90Hari
#90HariFiksiSeru
#90DaysFiction
#InfinityLovink

ARETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang