Jika aku boleh memilih antara hidup dan mati mungkin saat ini aku akan memilih mati. Tak ada alasan khusus. Hanya saja hidup seperti ini terasa membosankan.
Seperti keluhan si bintang laut Patrik dalam serial kartun televisi spongebob, si Patrik yang mengeluh hidupnya begitu melelahkan hanya bangun tidur, makan, bangun lagi dan tidur lagi, begitulah seterusnya tiada henti, bagaimanapun dia butuh sebuah hiburan. Begitupun diriku.
Jadi seorang istri dari orang kaya seperti suamiku tak lantas membuatku bahagia. Bahkan kegiatan menghamburkan uang suami pun sudah terasa membosankan. Sekali lagi aku butuh hiburan.
Sekali waktu suamiku yang sangat pekerja keras itu akan berkunjung pulang, sebelum akhirnya tak pernah pulang empat hingga enam bulan kemudian, bahkan terkadang lewat karena alasan pekerjaan.
Bolehkah aku protes?
Tidak itu bukan hak ku.
Konsekuensi kerja.
Banyak kerja, banyak uang dan banyak menderita. Mungkin.
Aku terdiam sekali lagi menatap senyumnya mengembang di balik layar televisi.
Jika saja aku bisa meminjam pintu kemana saja milik Doraemon aku pasti sudah meluncur ketempat acaranya berlangsung, menendang gadis berambut pirang yang seenaknya berpegangan dengan suamiku.
Bolehkah melakukannya?
Jawabannya sekali lagi tidak. Itu profesinya.
"Kau yakin akan menikah dengannya?" Terngiang kembali kekhawatiran ibu akan pilihanku.
"Iya," jawabku mantap meski dalam hati keraguan menyelimuti seribu kali lebih dari kemantapan hati itu sendiri.
Jika di ingat lagi, tak ada paksaan apa pun untuku saat memutuskan akan menikah dengannya.
Bisa dibilang ini hanya kegilaan masa remaja yang terjebak dengan imajinasi dan juga uji coba. Ah, pernikahan uji coba bahkan terdengar seperti uji coba untuk mendapat SIM mengemudi.
"Kau serius masih perawan?" tanyanya malam itu saat sejumlah uang telah masuk ke dalam rekening bankku.
Pertanyaan yang sontak membuatku menghentikan melepas kancing ketiga dari lima kancing kemeja yang menyembunyikan lekuk tubuhku.
Dia meragukanku?
Aku mengangguk mantap dan hendak melanjutkan membuka kancing kemejaku sebelum tangan halusnya menyentuh gerakan jemari menghentikan kegiatanku. Mata kami bersitatap. Dia tersenyum sangat manis membuat debaran halus di dada.
Jujur saja. Ini pertama kalinya.
Dan langkah yang kuambil terlalu extrim.
"Tidak. Aku tak ingin menodai gadis perawan meski aku telah membayarnya," ucapnya membuatku menatap tak percaya.
Pria yang sering melakukan ONS bisa bicara seperti itu? Sungguhkah?
Bukankah harusnya dia senang. Dia membayarku mahal bukankah karena aku masih perawan?Setidaknya itu yang dikatakan empat sahabat brengsekku.
"Ambil saja uangku, aku yakin kau membutuhkannya makanya kau rela melepas keperawananmu pada orang yang tak kau kenal," lanjutnya sambil melangkah ke sisi kiri ranjang.
Jangan salah Tuan, aku ada di sini hanya karena kalah permainan. Aku tak butuh uang itu sama sekali. Maksudku aku membutuhkannya bukan untuk sesuatu yang benar-benar penting.
Jangan pikir aku perlu uang itu untuk biaya pengobatan salah satu keluarga atau untuk membayar hutang orang tua seperti cerita novel yang kubaca atau cerita sinetron yang kutonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONS GIRL (18++)
Fanfic(follow dulu sebelum membaca) Mengandung unsur dewasa bagi yang merasa masih bocah harap menyingkir. Harap bijak memilih bacaan ya guys. Konten 18+++++ Cast : Jung Hoseok