Bab 6 Matahari Hangat

4.6K 527 34
                                    

"Tuh kan, kita jadi dilihatin satu mall. Malas ah..."

Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar  pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian.

"Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar.

"Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi.

"Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula."

"Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.

Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mall. Gimana?"

Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahunya, "yang ada aku dikira bawa orang gila."

"Woo asem!" umpatku pada Kania yang berjalan lebih cepat. Anak satu ini tidak berhenti membuatku gemas.

"Kita mau kemana sih Mas?" tanyanya bingung karena kami cuma berputar-putar dari lantai satu dan dua. Gitu aja terus.

"Mau cari sesuatu dulu, sabar kenapa!" kataku agak keras.

Dia menurut saja mengikuti gandengan tanganku. Wajahnya yang imut khas anak SMA terlihat agak lelah. Lucu ya? Bikin aku kangen terus. Tapi suka sekali menggodanya.

"Mas Angga, aku lapar," keluhnya pelan.

Aku berhenti dan menatap wajahnya, "emang kamu belum makan?"

Dia menggeleng pelan, "lupa tadi karena buru-buru."

"Iya deh. Cepetan dong cari sesuatunya." Anak ini kembali mendesakku.

Aku menurut dan akhirnya bergegas mencari sesuatu itu. Sebenarnya aku sedang mencari sebuah studio foto. Aku ingin mengabadikan potret kami dalam selembar foto. Walau kisah kami tersembunyi pada khalayak, tapi biarlah foto jadi saksinya.

"Kita gaya apa ini?" tanyaku bingung yang membuatnya makin cemberut.

"Gimana sih ngajak foto tapi nggak tahu apa gayanya. Capek deh!" keluhnya imut.

"Ya udah gaya lurus ke depan aja ya?" kataku kaku. Ya aku memang old school alias kuno.

"Nggak sekalian bawa papan kayak tahanan." Anak ini merajuk lagi, sangat lucu.

"Haha!" Aku hanya tertawa gemas.

Dia memukul bahuku, "kok ketawa sih, Mas. Seriuslah, aku udah lapar!"

"Ssiaap." Akhirnya aku memegang pundaknya lalu menghadapkan pada kamera.

"Sudah siap Mbak dan Mas?" tanya fotografer.

"Iya Mbak udah. Maaf ya!" ucap Kania malu.

Aku lantas memepetkan bahunya pada bahuku dan dengan cepat kukecup pipi ranumnya, "cup!"

Dia kaget dan menatapku lurus lalu ada sebuah lampu kilat. Tanda potret kami telah ditangkap. Akhirnya aku bisa sedikit nakal pada gadis kecil kesayanganku ini. Tak apalah aku nekat mengecup pipinya. Aku juga sudah sangat memberanikan diri. Bahkan menahan diri sejak SMA. Tidak mungkin aku mencium anak SD waktu itu, bukan? Aku memang pertama kali melihatnya saat dia masih SD.

"Apa...apaan Mas... ," desahnya tak percaya.

Aku tersenyum sambil menggaruk jambul, "maaf ya. Kelepasan."

Langit dan Bumi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang