Bab 11 Bertemu dalam Doa

3.7K 528 34
                                    

"Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"

Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah.

"Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.

Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?"

"Eng...enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah.

"Kok takut gitu. Gak level kalik aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania.

"Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis.

"Terpaksa," sahut Erlan sekenanya.

"Padahal Mas Erlan bisa dapat lebih lebih lebih dari aku," sambung Kania.

"Ya kenanya di kamu bisa apa?" kata Erlan sambil duduk dan menghapus keringatnya.

"Harus ya kita habiskan malam terakhir kita seperti malam-malam kemarin?"

"Iya gitu ajalah biar cepet besok. Aku cepet ke Jakarta," kata Erlan cuek.

"Harus ya Mas sekejam itu sampai akhir? Nggak bisa ya Mas lebih manis dikit, barang beberapa jam aja," pinta Kania pelan. Wajahnya terlihat memelas.

"Kamu tahu nggak sih, kenapa tiga malam ini kusuruh mijat terus?"

"Nggak tahu, Mas."

"Aku belum selesai ngomong, Pinter," kata Erlan kesal. Kania menahan tawa gelinya.

"Biar kamu terbiasa jaga malam. Kerja jadi dokter itu beratnya sama kayak jadi tentara. Kalau kamu jaga UGD kamu bahkan cuma tidur berapa jam aja. Kamu harus biasa latihan fisik. Mijat aku kan butuh tenaga, makanya kamu biar biasa."

Kania mencubit hidung bangir Erlan, "Mas bisaa aja ngelesnya ya!"

"Ye, dikasih tahu malah ngatain. Terserah kamulah!" kata Erlan kesal sambil beranjak pergi.

Kania mengikuti langkah Erlan ke teras rumahnya. Punggungnya tegap dan keras hasil latihan fisiknya selama bertahun-tahun. Punggung yang hangat dan selalu ingin dipeluknya. Andai saja dia bisa setiap hari memeluk dan memandang punggung itu. Lagi-lagi jarak akan memisahkan mereka.

"Mas, kasih Kania kenangan manis dong. Besok kita akan pisah kan? Mungkin nggak tahu kapan lagi bisa ketemu," kata Kania pelan sambil menyentuh lengan Erlan.

"Kenangan apa? Bukannya fotoku udah banyak di handphone-mu?"

"Bukan yang itu..."

"Ngomong-ngomong lihat foto yang tadi dong. Kayaknya bagus-bagus foto kita yang di Jatim Park tuh," alih Erlan yang membuat pandangan Kania pias.

Dengan sangsi, Kania menyerahkan ponselnya pada Erlan. Dengan santai pula Erlan membuka galeri ponsel Kania. Jemari lentiknya asyik membuka folder berisi foto mereka. Sesekali Erlan mesem aneh entah memikirkan apa. Sementara itu, Kania hanya diam kesal tak tahu bagaimana mengatakan perasaannya.

"Wah, gue ganteng banget ini," Erlan mematut fotonya sendiri.

Kania melongok sedikit, "iya ganteng. Cocok pakai kaca mata itu."

"Kamu juga lumayan cantik," sambung Erlan sekenanya.

Kania hanya diam mendengarkan Erlan bicara sendiri. Dia memilih memandangi wajah kekasihnya itu banyak-banyak. Mumpung mereka masih bersama. Esok siang mereka akan terpisah jarak lagi.

Langit dan Bumi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang