Bab 5 Jarak

4.4K 515 7
                                    

"Hai Dek Kania."

"Mau apa Mas Wirya ke sini?"

"Tentu mengunjungimu."

"Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."

Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga.

"Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.

Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu kan?"

"Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab.

"Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya.

"Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam saya? Lebih baik ketemu dengan orang penting kan?"

"Kamu penting bagi saya, Dek."

"Saya sudah nolak Mas Wirya kan?"

"Apa tandanya kita harus berjarak?" Pertanyaan itu membuatku gamang, sepertinya kejam sekali.

"Bukankah sudah jelas saya milih siapa. Saya nggak mau bikin Mas Angga cemburu," tutupku pelan.

Dia tersenyum tipis, "ternyata seragam yang saya pakai ini tidak bikin jarak kita dekat ya? Kamu setia menjaga cinta dengan Bang Angga. Saya salut, Dek. Masih mending seragam SMA dulu, bisa ketemu kamu tiap hari."

"Makasih, saya cuma pengen jadi perempuan baik-baik."

"Itu bagus. Baiklah, sebagai seorang ksatria, saya tidak akan melanggar prinsip Dek Kania. Saya tidak akan mengganggu hidup Dek Kania lagi."

"Makasih," ujarku pendek, dingin tentu saja. Tak ingin kasih harapan.

"Sama-sama. Makasih juga ya udah mau nemuin saya. Ini izin bermalam saya yang pertama, dan saya menghabiskan 10 menit denganmu."

"Hati-hati di jalan, Mas." Aku lanjut masuk ke dalam rumah.

"Tunggu," cegahnya, "jika suatu saat kita ketemu lagi, jangan pernah sungkan untuk menyapa saya ya? Jika kamu sedang menangis, jangan takut bersandar pada saya."

Aku membalik badan sambil terperangah. Apa maksud perkataannya? Jadi dia menyumpahiku untuk selalu bersedih, gitu? Dia sakit hati karena kutolak? Sungguh tidak dewasa manusia ini. Ditolak cintanya kok jadi gitu.

"Tapi saya berharap kita bertemu dalam bahagia. Saya ingin tertawa bersama denganmu. Selamat sore." Dia lantas berpamitan pergi. Meninggalkan punggung tegapnya yang semakin menghilang.

Sore ini sungguh aneh. Membuatku tak percaya berulangkali bahwa seorang Wirya bisa berkata seperti itu. Seorang kakak kelas yang populer di sekolah dulu tergila padaku. Dengan mudahnya kutolak demi Mas Angga. Dan baru saja aku kembali mengecewakannya. Sungguh aneh ya Kania ini.
---

Jarak ada saat dua orang saling terpisah. Terpisah tempat, waktu, dan mungkin juga hati. Antara aku dan Mas Wirya ada jarak, karena hati kami tak satu. Aku dengan Mas Angga dan dia dengan mencintaiku. Antara aku dan Mas Angga ada rindu, antara Mas Wirya dan aku juga ada rindu. Cinta segitiga mungkin. Seorang Kania bisa terlibat cinta segitiga?

Jarak yang memisah antara aku dan Mas Angga juga kian menyiksa. Tak ada komunikasi akhir-akhir ini. Waktu IB banyak dia habiskan di Magelang daripada mengunjungiku di Malang. Memang, kami terpisah ratusan kilo antara Malang-Magelang. Kota ini punya ratusan cerita tentang aku dan Mas Angga.

Langit dan Bumi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang