Bab 8 Sabar

3.4K 434 33
                                    

Kunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang kan gimana rasanya?

Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kan bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal haluspun sangat menyenangkan.

Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit, adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Tapi, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.

Balas suratku lagilah. Atau mungkin sekedar meneleponku. Kulirik buket bunga yang telah layu di sudut kamar. Apakah memang cintanya sudah layu? Kenapa tak kasih bunga palsu saja, biar awet selamanya. Iya sih, cintanya palsu.

Huft, aku jemu. Kapan sih pertemuan itu datang? Apa iya dia tak dapat libur? Bukankah kemarin sudah dilantik di istana negara ya? Aku tahu kok, dia kan berdiri di depan barisan untuk menerima penghargaan. Membanggakan sekali ya?

Tentu aku sangat bangga, kekasihku hebat. Otaknya cemerlang dan encer. Badannya bagus. Wajahnya ganteng. Budi pekertinya bagus walau menyebalkan. Dan tentu saja, makin jauhlah pula dia denganku. Dia bintang, aku cuma daun kering. Walau aku langit, tapi langit suram. Kalau dia pendar mentari. Apa benar kami tak cocok?

"Tok...tok...tok..."

Sebuah suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Dan lagi aku sering sekali melamun. Tak pakai pikir panjang, aku berlari ke arah pintu. Siapa ya yang datang? Apa dia Mas Angga? Ah senang sekali kalau memang itu dia. Ah semoga. Ah aku sudah girang sendiri loh.

"Selamat pagi, dengan Mbak Kania?" sapa pak pos dengan ramah. Ya, dia pak pos.

Aku menyeringai kikuk, "iya Pak. Saya Kania."

"Selamat ya udah keterima di FK."

Sebuah sahutan dari belakang tubuh pak pos membuatku berjingkat. Suara yang sangat kukenal. Itu kan suara Mas Angga, kekasih tercintaku. Dimana dia? Kok bisa ada suara, orangnya nggak kelihatan.

"Mas Angga?" aku celingak-celinguk begitu pula dengan pak pos yang kebingungan.

"Di sini!" Mas Angga muncul dari balik pohon jambu yang tinggi. Mirip hantu saja.

"Ini Mbak suratnya, selamat pagi." Pak pos undur diri dan tak banyak bicara setelah diusir halus oleh manusia kesayanganku itu.

"Selamat ya Kania Langitnya Erlan. Ada baiknya juga kan kita jarang komunikasi?" ucapnya dengan bangga.

Aku berlari kecil ke arahnya, tentu hendak menghambur seperti biasa, namun sebuah jemari menahan jidatku, "hei Genit, jangan sembarangan kamu ya!"

"Mas, Kania kangen," ujarku manja.

"Hei, jangan kotori bajuku dengan keringatmu yang belum mandi ya!" ujarnya judes.

Aku menatapnya melas, "tunggu sebentar, ada yang beda ya dari Mas..."

Dia mengangkat dagunya sambil mematut tubuh gagah itu, "apa?"

"Kamu bukan mas tarunaku lagi. Tapi, sudah jadi Pak Letnan. Wah...mas Angga ganteng..." kataku girang.

"Baru tahu ya kamu? Dasar lemah otak!" ejeknya kasar.

Aku berlinang air mata, "selamat ya Mas. Semoga amanah dengan jabatan dan pangkat barunya. Aku bangga banget sama Mas Angga. Kemarin salaman sama presiden, muncul di TV juga. Gimana Mas rasanya salaman sama presiden?"

Langit dan Bumi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang