Part 2 : Sahabatku (Livia)

11 2 0
                                    

"Sahabat itu yang selalu menemani dalam suka ataupun duka".


Semilir angin malam berhembus meniup wajahku. Udara malam ini cukup dingin ditambah lagi dengan cuaca mendung yang menghiasi langit. Tidak ada sama sekali cahaya bintang dan bulan yang terpancar disana. Yang terlihat hanya gumpalan awan biru kehitaman juga rintik air hujan yang mulai menetes perlahan membasahi bumi.

Kini aku sedang berjalan menyusuri trotoar. Ku eratkan jaket yang melilit di tubuhku agar hawa dingin tidak terlalu menusuk kulitku. Tempat yang akan kutuju berjarak sekitar 500 meter dari rumah sakit.

Aku tetap berjalan santai tidak berniat untuk memesan taxi meskipun rintik hujan kian lama makin deras dan mulai menembus jaket yang kukenakan hingga membuat tubuhku menjadi basah.

Suasana hatiku malam ini sedang kacau. Ditambah lagi aku sedikit tidak enak badan. Mungkin karena aku setiap hari bolak-balik ke rumah sakit bergantian dengan Tante Lisa menjaga Alva. Hingga membuatku kurang istirahat.

Namun rasa sakit di tubuhku tidak terlalu ku pedulikan dari pada rasa sakit di hatiku. Rasa sakit yang tak kunjung reda,  sebelum orang yang membuat semua ini sadar dan menjelaskannya kepadaku.

Sebenarnya aku sudah memaafkan Alva. Tapi aku ingin mendengar langsung ucapan maaf itu dari mulutnya. Aku sungguh mencintainya walaupun dia telah menduakan cintaku. Dan aku berharap ia akan kembali padaku dan memperbaiki semua ini.

Sudah hampir 4 tahun aku menjalin hubungan dengannya. Banyak hal yang kita lalui bersama. Aku ingin tetap berada di sampingnya.

Mungkin kalian berfikir bahwa aku perempuan bodoh yang masih mau menerima lelaki yang sudah berkhianat di belakangku. Kalian boleh berpendapat apa saja tentang diriku. Tapi faktanya aku sangat mencintai Alva dan tidak ingin kehilangan dia.

Jam di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul setengah 9 malam. Jalanan yang ku lalui begitu sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang. Ditambah lagi dengan hujan yang turun semakin deras.

Kini tubuhku serta pakaian yang ku kenakan sudah basah dengan sempurna. Tubuhku mulai menggigil serta bibir yang bergetar karena merasakan hawa dingin yang begitu menusuk kulitku.

Aku sudah setengah jalan menyusuri trotoar ini. Dengan sisa tenaga yang ku miliki aku tetap melanjutkan perjalanan ini. Aku tidak berniat untuk berteduh.

Tubuhku seperti tidak memiliki daya. Begitu lemas. Ditambah lagi hawa dingin yang menyeruak serta kepala yang mulai terasa sakit.

Aku berjalan gontai sambil sesekali melihat-lihat suasana di sekitar jalan. Ada dua pasang insan yang sedang berteduh di pinggir toko. Sang laki-laki sedang memakaikan hoodie miliknya kepada perempuan di sampingnya. Aku menarik seulas senyum melihat pemandangan itu.

Begitu romantis. Pikirku.

Tapi di satu sisi aku merasa sedih. Hatiku begitu teriris. Kala menyaksikan kejadian tadi, yang terlintas di otakku adalah bayangan Alva. Alva yang dulu begitu perhatian kepadaku. Begitu menyayangiku apa adanya.

Namun kini lelaki yang menjadi tempatku bersandar setelah Ayah, memiliki pujaan hati lain. Perempuan yang setiap sore datang menjenguk Alva.
Kenyataan pahit yang harus ku telan mentah-mentah.

Setetes  cairan bening jatuh membasahi pipiku. Tangisku cukup deras. Cairan bening itu terus mengalir membasahi pipiku. Namun jika ada orang yang melihatku pasti mereka mengira bahwa aku sedang tidak menangis. Karena hujan turun begitu deras menyapu setiap air mata yang jatuh ke pipiku.

Kini aku berbelok mulai memasuki jalan setapak. Sebentar lagi aku sampai ke tempat yang kutuju.

Sekarang hampir pukul sembilan malam. Aku terus berjalan menyusuri komplek perumahan ini. Sekarang keadaan masih hujan, tetapi tidak sederas tadi.

Last ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang