"Di satu sisi aku bahagia melihatmu kembali membuka mata. Namun, di sisi lain aku kecewa melihatmu sedang bersamanya".
Mobil milik Livia mulai memasuki area parkir rumah sakit. Aku dan Livia turun dari mobil. Aku berjalan memasuki rumah sakit sedikit tergesa-gesa. Sedangkan Livia berjalan di belakangku dengan santai tidak seperti diriku.
Setelah melewati beberapa ruangan, aku sudah bisa melihat ruangan rawat inap milik Alva. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai. Ku percepat langkah kakiku dan akhirnya aku sampai di depan ruangan Alva. Tanpa menunggu lama lagi aku langsung meraih knop pintu itu dan membukanya.
Pemandangan pertama yang kulihat adalah Alva yang sudah sadar dan sedang mengobrol dengan seseorang. Seketika nyaliku untuk bertemu dengan Alva mencelos. Ada perasaan sakit di hatiku. Seseorang itu bukan Tante Lisa, melainkan perempuan yang selama ini mengganggu pikiranku. Kalian pasti tau maksudku siapa perempuan itu. Melva.
Aku masih mematung menyaksikan pemandangan itu. Untung saja mereka belum menyadari kehadiranku. Mungkin karena mereka terlalu asik mengobrol.
Aku hendak berbalik meninggalkan ruangan ini. Namun kurasakan pundak sebelah kananku ditepuk oleh Livia. Ia memberi kode kepadaku agar tetap masuk saja. Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya. Tetapi Livia tetap memaksaku untuk masuk.
"Masuk aja Gladd, biar masalah ini cepet selesai. Tahan sebentar rasa sakit loe sama mereka" ucap Livia setengah berbisik meyakinkanku.
Akhirnya kubalas dengan anggukkan. Aku mengatur nafasku dan mencoba untuk menguatkan diri. Akhirnya aku berbalik dan mulai masuk ke ruangan Alva. Livia yang berjalan di depanku, sedangkan aku mengekor di belakangnya.
"Assalamu'alaikum..." ucap Livia.
Sementara aku hanya diam tidak bersuara.
"Wa'alaikumsalam..." balas Alva dan Melva secara bersamaan.
Melihat kedatanganku, Alva sedikit terkejut. Manik mataku dan Alva bertemu sepersekian detik. Tetapi aku terlebih dahulu yang memutuskan kontak tersebut. Hingga akhirnya Alva bersuara, suara yang begitu lirih. Suara yang sangat kurindukan.
"Gladysss..."ucapnya.
Merasa namaku dipanggil, aku menyahut membalasnya.
"Iyah...Al?"
Alva tersenyum mendengar jawabanku.
"Sini duduk di sampingku, aku ingin berbicara denganmu. Mel...kamu bisa pindah duduk ke sofa yah, aku ingin berbicara sebentar dengan Gladys" perintahnya begitu lembut.
Melva tersenyum mengangguk seraya bangkit berdiri dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju sofa yang berjarak 3 meter dari ranjang Alva.
"Sini duduk..."ucap Alva.
Aku sedikit ragu-ragu untuk melakukannya. Namun Livia mendesakku untuk menuruti permintaan Alva. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di sampingnya. Sementara Livia sudah berjalan menuju sofa yang ditempati oleh Melva juga.
Kududukkan pantatku di kursi bekas Melva tadi. Sebenarnya dalam hati ada rasa tidak sudi, mengapa aku harus menduduki bekas wanita itu. Batinku sedikit kesal.
Aku sedikit kaget ketika Alva meraih kedua tanganku dan menggenggamnya. Ia tersenyum kepadaku. Aku tidak membalas senyumannya. Kulepaskan secara perlahan genggaman itu. Aku takut jika Melva melihat ini ia akan curiga kepadaku. Akui mengaku dengannya sebaga sepupu Alva, bukan kekasihnya.
Alva sedikit kaget melihat balasan perlakuanku kepadanya.
"Kok dilepas Gladd..."ucapnya dengan suara lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Choice
Fiksi RemajaHubungan ini ibarat jalan setapak yang berkelok-kelok. Rumit, tetapi terdapat ujungnya. ~'Gladys Bellvania