Salah? (part 2)

6 2 0
                                    

**

“Maafin kakak ya yang nggak becus ngurus kamu.”, kata Ilyas sambil mengelus kepala sang adik yang masih tertidur. Lalu, ia pun keluar kamar menuju ruang kerja ayahnya.

“Tok tok, Ayah ini Ilyas.”

“Hm, masuk.”

Terlihat seorang paruh baya yang sedang menyeruput secangkir teh sambil membaca buku.

“Ayah kenapa terlihat se-tenang ini, padahal Tari…”

“Cukup! Tari sudah mendapatkan terapinya, sudah tidak usah dibahas lagi, ayah juga sudah meminta polisi dan media menutupnya.”

“Huh? Ayah tolonglah, Tari butuh perhatian Ayah, dia masih sangat muda untuk menerima semuanya.”

“Lalu bagaimana denganmu? Hm? Apa peranmu sebagai Kakak, hah? Kamu pikir Ayah tidak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana?”

“Huft…” Ilyas hanya bisa membuang nafas kasar sambil tersenyum kecut mendengar kalimat yang diucapkan Ayah kandungnya. Ia pun pergi meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya yang sudah 1 tahun tidak dihuni.

“Kalau bukan karena Mentari, aku mungkin tidak akan menginjakkan kaki disini.” Kata Ilyas sambil menatap langit di balkon kamarnya.

**

“Bibi, apa bibi masih menyimpan kontak Endorphine’s cake?”

“Sebentar ya, Bibi carikan dulu.” Sambil membuka smartphone nya, Bi Mona mulai mencari.

“Haduh, sepertinya kehapus, kemarin soalnya dimainin sama Fahri, banyak kontak yang ke hapus juga.”

“hmm...bibi, Tari pinjem hp nya ya, mau nyari kontaknya. Oya bibi mau dipesenin apa?”

“Silahkan Mbak Tari, bibi mah apa aja, soalnya semuanya enak. Hebat ya yang bikin, tapi sayang di Jakarta nggak ada, cuman ada di Semarang.”

“Iya ya, selain enak, Tari juga suka soalnya di setiap bungkusnya itu pasti ada kata-kata bijak. Hehe jadi kayak nerima surat cinta.”

“Cie… emangnya pernah nerima surat cinta?”

“Hmm… nggak juga sih.”, Tari tersenyum manis.

“Bibi seneng deh kalo Mbak Tari senyum, rasanya adem.”

Tari hanya menjawab dengan tersernyum kembali.

“Tok tok…” seseoramg mengetuk kemudian membuka pintu kamar.

“Eh Mas Ilyas, bibi keluar dulu ya.”

“Bibi, Tari pinjem dulu ya, nanti kalo udah Tari balikin.”

“Oke, siap.”

Tari masih sibuk menatap layar ponsel seolah-olah tidak menganggap kehadiran Ilyas.

“Kamu udah bangun, ini buat kamu.” Ilyas menyerahkan sebuah kotak yang berisi smartphone terbaru. Namun, Tari masih tidak bergeming. Ia terus saja sibuk menatap ponsel sambil mengunyah roti bakar selai coklat. Ilyas pun duduk di pinggiran ranjang.

“Maafin kakak ya, baru sekarang kakak ketemu kamu. Kakak emang salah udah ninggalin kamu disini tapi itu demi kebaikan kamu, Tari, kamu masih harus sekolah.”, tutur Ilyas. Tari masih terdiam, tidak merespon apapun.  

“Kakak sangat berharap kamu bisa selalu bahagia, sungguh.” Ilyas pun beranjak keluar dan meninggalkan kotak yang ia bawa di atas meja dekat ranjang.

Air mata Tari tiba-tiba menetes. Untuk kesekian kalinya ia menangis sunyi. Jika luka mempunyai suara, sangat mungkin melodi luka Tari akan sering terdengar oleh jagat raya.

Kaktus BerbungaWhere stories live. Discover now