(19) Trauma

1.1K 174 1
                                    

Sudah sebulan lamanya, lebih tepatnya tiga puluh hari, empat jam, dan dua puluh enam detik setelah perpisahan terakhirnya dengan Wonwoo pada malam itu. Jangan salahkan Mingyu, tapi hari terasa jauh lebih lambat semenjak ia menginjakkan tanah Jeju, tempat tinggal barunya saat ini hingga beberapa tahun kedepan.

Ia kini duduk manis disamping kursi kemudi Mama Kim, mama kandung yang juga menjadi alasan utama ia dengan berat hati harus meninggalkan ibukota dan teman-teman barunya. Keduanya diam tanpa bicara, membiarkan suara radio memecah keheningan sementara kedua insan itu berada pada pikirannya masing-masing.

"bisa tidak Mingyu, jangan tampilkan wajah cemberutmu itu. Kita ini akan bertemu Seungkwan, sahabat kecil kamu,"

Mama Kim membuka pembicaraan lebih dulu sementara Mingyu hanya mengedikkan bahu, padahal ia sudah berusaha menampilkan senyum setampan mungkin. Tapi masih saja mama Kim ini kembali dengan bawelnya mengomentari hal-hal tidak penting.

Namun lagi-lagi, sebagai anak satu-satunya, Mingyu berusaha menurut. Apalagi mengingat Mama Kim ini sudah berjuang menafkahi dia seorang diri sampai sebesar ini.

Sebuah fun-fact yang tidak pernah ia ceritakan, pun kepada teman baru -entah jika mereka juga menganggap Mingyu seperti itu, bahwa seorang Kim Mingyu yang asyik, tampan, berteman baik dengan deretan siswa populer seperti Jungkook dan kawan-kawan tidak mengubah kenyataan bahwa alasan ia pindah di sekolah itu hanya untuk persinggahan sementara kedua orangtuanya mengurus masalah perceraian. Ia terpaksa tinggal di flat mewah milik sang Mama, sementara rumah mewah yang ia tinggali harus dijual karena pembagian harta yang Mingyu enggan mencoba memahaminya.

Kedua orangtuanya, Papa dan Mama Kim merupakan pekerja-holic. Mengatasnamakan materi demi kebahagiaan keluarga kecil, bahkan Mingyu ragu ada rasa bernama cinta ketika mereka bersumpah di altar pernikahan delapan belas tahun yang lalu. Tepat setahun sebelum ia lahir di dunia.

Mingyu kecil tidak pernah tahu bahwa rasa tidak menyenangkan acap kali melihat teman sebayanya pulang sekolah bergandengan dengan orang tua, atau menceritakan betapa enaknya masakan sang mama, itu semata-mata bernama cemburu, iri, atau apalah itu.

Mingyu kecil terbiasa pulang ke rumah dengan keadaan rumah kosong, hanya ada Bibi Jung, pembantu rumah tangga baik hati dan ia anggap sebagai sosok ibu yang telah lama hilang. Bibi Jung ini juga yang selalu ia pamerkan pada teman sebayanya ketika bercerita, alih-alih mengatakan Bibi Jung, Mingyu menggunakan kata 'ibu'.

'kata ibuku, itu tidak baik,'

Dengan begitu beberapa teman jahat yang selalu meledek bahwa Mingyu tidak mempunyai ibu akan terdiam, kemudian mengajaknya bermain sepak bola keesokan hari.

Mingyu kecil akan sangat senang hanya dengan melihat mobil mewah milik Mama nya terparkir rapi di garasi, ia akan berlari kencang mengabaikan teriakan Bibi Jung karena masih memakai sepatu olahraga dan mengotori lantai marmer rumah. Menerobos kamar sang Mama hanya untuk melihat sosok itu telah berpakaian rapi dan mencium kening Mingyu sekilas, 'mama berangkat dulu ya sayang'

Papa Kim? Jangan ditanya. Mingyu kecil sudah lupa bagaimana rasanya memanggil seorang papa di dalam rumah. Sosok itu tidak pernah ada, hanya sebuah foto dengan wajah penuh kebanggaan yang terpajang di ruang keluarga.

Pernah sekali, akhirnya sosok itu pulang kerumah, bertepatan dengan Mama yang juga sudah berada dirumah. Bibi Jung menjemputnya ketika ia masih bermain di lapangan. Tentu ia bahagia, langsung saja dadanya membusung bangga dan mengatakan 'papaku pulang. Aku duluan ya', sebuah kalimat sederhana yang sangat ingin ia ucapkan sedari dulu di depan teman-temannya.

Tapi mungkin itu adalah hal terakhir yang Mingyu ingat dari seorang Papa. Ia baru saja tiba dirumah ketika mendengar sang Mama menjerit frustasi dan seorang lelaki yang Mingyu kenal sebagai seorang Papa dari dalam foto berteriak penuh amarah.

Teen, Age [MEANIE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang