... and then reality just slaps you really hard.
" Kapan pulang? " Samar namun aku dapat menebak kalau suara tersebut adalah suara ibuku.
" Besok. " Terdengar suara sahutan lain dari handphone ibu yang aku tebak itu adalah suara adikku yang pertama. Saat aku mendengar suaranya, aku bergegas untuk menghampiri ibuku untuk mendengar lebih jelas lagi suaranya.
" Besok pulang? " Tanyaku dengan riang.
" Iya, mau titip apa? " Dia menyahut dengan nada yang biasa dia gunakan—rendah nan datar.
" Mau titip makanan saja, bawa yang banyak ya! " Ucapku dengan nada yang riang—seperti bukan diriku saja.
" Iya, iya. " Dia menyahut dengan nada malas namun aku jelas tau kalau dia pasti akan membawa banyak makanan saat pulang nanti.
" Jangan lupa ya, bye! " Ucapku sambil berlari keluar.
Ternyata hanya mimpi? Ah, aku ingin tidur lebih lama lagi agar aku dapat menikmati kebahagiaan yang semu itu lebih lama lagi. Terbangun dan menyadari bahwa itu hanyalah mimpi belaka, seketika membuat perasaan yang menyesakkan itu kembali menyelusup jauh ke dalam diriku—membuat diriku dipenuhi dengan kilasan memori yang melintas layaknya sebuah film. Aku masih merindukan tawa konyol mereka, merindukan momen dimana aku berdebat untuk hal kecil, merindukan momen dimana kami bermain Play Station dan bermain banyak permainan lainnya bersama, dan aku juga merindukan suara gonggongan dan kibasan ekor yang selalu bersemangat saat menyambutku pulang. Mimpi itu nampaknya sulit bahkan mustahil untuk diwujudkan ya? Kalau begitu, biarkan aku bermimpi lebih lama lagi agar aku dapat bertemu dan melakukan banyak hal dengan mereka—biarkan aku melupakan realita yang ada untuk sementara dan mengejar kebahagiaan semu.