3. Alfabet

124 51 19
                                    

Cinta itu seperti api. Jangan terlalu sering memainkannya, bisa jadi kau akan terbakar olehnya.

---------------------------------------------------------

[Revisi]

Ternyata, Gama membawa Lampir ke konter ponsel dan memberikan waktu untuk perempuan itu memilih. Namun, karena terlalu lama menentukan ponsel mana yang ingin dia beli, Gama pun turun tangan. Terjadi perdebatan alot antara mereka berdua hingga akhirnya Lampir menyerah dan menerima ponsel pilihan Gama dengan berat hati.

"Kenapa harus yang ini?"

"Sudah terima saja, kamu pahamkan apa yang dibicarakan oleh pegawai itu?"

"Paham."

"Bagus, sekali diajarkan langsung mengerti."

"Ya iyalah, saya kan pandai, tidak seperti kamu."

"Hem."

Bukannya menyombongkan diri, tetapi faktalah yang membuktikan jika si pirang memang cepat tanggap untuk urusan ilmu dan pengetahuan.

Jari serta matanya sangat aktif menyentuh layar, sampai-sampai ia mengabaikan sosok yang sudah berjalan meninggalkan dirinya.

"Ma, ini maksudnya apa?" tanya Lampir dengan mengalihkan pandangannya pada posisi dimana Gama berdiri tadi.

Namun, kedua iris mata biru itu tak menemukan Gama, melainkan hanya punggung berbalut kemeja biru yang telah menjauh dari pandangannya.

Tanpa basa-basi Lampir langsung berlari menghampiri Gama yang tengah membuka pintu mobil. "Hei! Mengapa kamu meninggalkanku begitu saja?" tanya Lampir di belakang tubuh Gama.

Tanpa menoleh, pundak lelaki itu terangkat, mengabaikan kehadiran Lampir. Ia masuk ke dalam mobil, lalu tangan kiri bersiap untuk menutup pintu.

"Mau sampai kapan di luar?"

Sang pendengar tak menjawab. Dengan kaki dihentak, ia memutari mobil itu kemudian masuk ke dalamnya dan duduk tepat di sebelah Gama.

Tak ada yang mau membuka percakapan hingga mobil tersebut melaju.

Meski fisik mulut Lampir tak bersuara, tetapi dalam kalbu ia terus mengumpat.

'Ish. Kenapa dia cepat berubah? Di rumah cerewet, di jalan dingin. Labil.'

"Jangan terus memancing amarah saya."

Mata Lampir menatap Gama heran, "Bukankah kekuatanmu sudah hilang? Kamu ... mencoba membohongi saya?"

"Tidak, kamu lupa dengan pangeran ular?"

"Em ...." Lampir menerawang, ia mencoba mengulang kisah masa lalu.

"Pada saat itu, Ayahanda berkata, 'bila suatu hari kekuatan pangeran telah tiada, tetapi batin dengan indra pendengaran masih terikat satu sama lain, hal inilah yang membedakan antara pewaris tahta dengan makhluk yang lainnya."

Pertanyaan tersebut membuat Lampir bungkam. Kedua tangannya digunakan untuk membekap mulut sendiri.

"Kamu memang sudah tua, pantas untuk pikun."

"Gama!" pekik Lampir, lalu memalingkan wajah menatap ke kaca. Sulit sekali untuk berdamai dengan Gama.

Sedangkan sang pendengar pekikan tersenyum tipis, lucu melihat Lampir seperti gadis, padahal umurnya sudah lebih dari ribuan, tak patut untuk bergaya seperti itu. Pikiran yang terus mengingat kata lupa, menyebabkan ia teringat dengan benda ajaib milik Gama. "Eh, Lampir."

Vindicta ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang