5. First Time

108 44 12
                                    

Bukan keterlambatan yang menjadi penghalang. Namun, dirimulah yang tidak memulai.

--------------------------------------------------

[Revisi]

Panas terik dari mentari tak menjadikan Lampir terhenti, ia tetap berlari mengejar waktu yang tersisa. Rambut ekor kuda seiring bergoyang dengan pijakan kaki kian dipercepat. Jalanan yang disesaki oleh makhluk bernyawa, membuat ia menyelinap di sela-sela celah. "Permisi, permisi."

Meski, terdengar dengusan pelan, tetapi sang penyelinap tetap berlari dengan mata yang menatap ponsel. "Belok kiri."

Kaki lenjang menuruti arahan dari Google Maps. Walaupun begitu, ia kesulitan untuk menghemat waktu, tetapi ia tak putus asa, kaki tetap berlari meski energi setetes lagi.

Akhirnya, setelah menerjang semua rintangan, senyum mengembang ketika si iris biru melihat gerbang yang sudah ada di depan mata. Namun, senyum itu perlahan menipis bertepatan dengan sosok yang tengah mengunci gerbang.

"Tunggu." Lampir berlari kembali.

"Kamu sudah terlambat."

"Tolong buka Pak." Tangan mungil mencoba mendorong gerbang, tetapi bukannya membuka gerbang melainkan diberi pelototan tajam.

"Kamu tahu ini pukul berapa?"

Lampir langsung menatap jam yang melilit di pergelangan tangan. "Delapan."

"Selamat dihukum."

Satpam tersebut meninggalkan Lampir yang menghembuskan napas kasar. Keringat deras telah membasahi seluruh tubuh, maka tak salah lagi ia kekurangan ion-ion mineral sehingga tangan putih pun membuka tas merah muda, dan mencari yang ia butuhkan. "Mana ya ... aduh saya lupa, Si Ular 'kan sudah merampas semuanya. Ish, gara-gara kalung ini saya merasakan jadi manusia ... haus ...."

Lampir mengelap wajah yang berceceran dengan keringat sembari menggerutu. "Awas kamu Gama! Bila kekuatan saya pulih, maka kamu akan disihir jadi tikus!"

"Tikus? Mana tikus?"

Sontak, si penggerutu terkesiap, ia tak menyangka jika di belakangnya ada orang lain. Lampir pun berbalik, dan menemukan laki-laki yang berjambul kecokelat-cokelatan, baju dikeluarkan, serta celana abu yang ketat. "Hai Alfa, kamu sekolah juga di sini?"

"Ya iyalah, memangnya Gama tidak bilang sama kamu?"

Mata belo membelalak, ia baru ingat dengan ucapan Gama semalam yang berbunyi, "Ingat, besok dan seterusnya kamu sekelas dengan Alfa, dekati dia, jangan sampai buat masalah."

Lantas, mengapa Lampir dapat melupakan hal tersebut? Mungkin akibat kejadian tadi pagi, ingatannya digantikan oleh emosi yang membludak.

"Beta?" Tangan melambai-lambai dihadapan si iris biru.

"Hah?"

"Kenapa melamun?"
"Ti-tidak."
"Bohong ya? Keliatan tahu dari matanya."

"Em ...." Kepala Lampir berpaling, bingung dengan jawaban yang harus ia lontarkan. Tak sengaja, matanya menangkap sesuatu. "Eh, mendingan kita duduk di sana yuk." Tangan Lampir menunjuk ke kursi panjang yang berada di depan warung.

Vindicta ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang