Mengapa kejahatan seseorang lebih diingat daripada kebajikannya?
--------------------------------------------------
Pagi telah tiba. Sinar mentari menembus pepohonan lebat dan juga kulit mereka yang tertidur di tanah hutan-ditemani oleh sisa bara api semalam. Tak lama, salah satu di antara mereka sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Kartika memijat-mijat badannya yang terasa pegal. Tak hanya itu, ia juga gatal-gatal akibat nyamuk yang tidak sopan menghisap darahnya.
Iris biru milik Kartika memerhatikan sekeliling. Pandangannya tertuju kepada sosok itu, yang beruntung karena ia bebas memerintah tanpa memberi imbalan. Kembali pada pengandaian, seandainya saja Kartika tidak gegabah, maka tidak akan seperti ini. Namun, percuma juga, waktu telah berlalu.
"Aduh lapar," ujarnya ketika mendengar suara dari perutnya. Kartika bangkit, berniat untuk mencari makanan.
"Mau ke mana?"
Langkah Kartika terhenti seraya menghela napas, lalu berbalik menatap sang penanya "Tuan, perut saya lapar. Apakah saya tidak boleh mencari makanan?"
"Ikut."
Pangeran bangkit dengan susah payah. "Aw ...! Tolong bantu saya berdiri."
Kartika mendengus, ia menghentakkan kakinya sebelum membantu Tirta berdiri. "Tangan Tuan, disimpan di sini," pintanya sembari menepuk pundak kirinya.
Si iris biru pun bangkit dengan mengerahkan semua tenaganya. Akhirnya mereka bisa berdiri, dan berjalan bersama dengan langkah yang lambat.
"Itu ada air ...! Ayo!" Ke-4 kaki itu mempercepat langkah mereka. Hingga berhentilah di depan sebuah danau.
"Awas, hati-hati." Kartika membantu pangeran untuk duduk.
Setelah itu, si rambut hitam legam duduk di samping Tirta. Tangannya meraih air danauuntuk mencuci muka, kemudian menyeruput air yang sangat jernih itu.
Bertepatan dengan aktivitas tersebut, mata lain tengah terpana dengan wajah manis Kartika.
'Cantik.'
Seolah mendengar batin Tirta, objek yang menjadi model bangkit.
"Mau ke mana?""Saya akan mencari makanan untuk Tuan."
"Ya sudah, jangan terlalu lama."
Kartika membongkokkan tubuh sebelum berjalan meninggalkan pangeran. Perlahan, punggung berbalut kain hijau menjauh dari iris cokelat. Sontak, ia menghela napas, entah kenapa terasa berat ditinggalkan begitu saja.
Kepala yang sedari tadi menatap kepergiannya, berganti menatap keindahan danau. Air tenang disertai nada-nada indah para aves. Namun, hal itu tak menjadikan ia nyaman, melainkan merasa jenuh. Bagaimana tidak, pangeran tak bisa melakukan apa-apa, hanya duduk termenung di tepi danau.
Maka, pangeran akan mengusir kejenuhan tersebut dengan berusaha bangkit. "Aw ...!"
Tubuhnya terduduk kembali. Ia pun mendengus kesal. "Ish, gara-gara ular itu, saya tidak bisa apa-apa."
Tak ada pilihan, pangeran memutuskan untuk menunggu. Dalam kesendirian itu, ia merasakan rindu menyeruak dalam diri. Seolah mengerti dengan keadaan, rasa tersebut kian lama kian jadi.
'Kenapa aneh, ya ...? Bila sendirian rasanya hampa, tetapi bila bersama-'
"Tuan!"
"Kartika."
"Kartika?" tanya si kebaya hijau meyakinkan.
Wajah si iris cokelat pun berpaling. Tak sadar, ia menyebut sosok yang tengah melanda di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vindicta ☑
Fantasy[SUDAH TERBIT DALAM VERSI E-BOOK DAN TERSEDIA DI GOOGLE PLAYSTORE SERTA ADA HADIAH MENARIK MENANTI ANDA] ---------😈😈😈----------------- Vindicta merupakan novel yang memadu padankan dua kisah kelam dan masa kini. Kerumitan mulai terjadi sejak sos...