9. Malaikat

76 34 16
                                    

Sedalam apapun kamu mengubur bangkai. Maka suatu saat akan tercium baunya.

--------------------------------------------------

[Revisi]


"Alfa, bangun!"

Lampir kesal dengan Alfa yang terus tidur dari jam pertama pembelajaran hingga jam istirahat. Padahal tugas dari pak Salman harus dikumpulkan.

Meski tangannya sudah memerah akibat kekuatan dari tubuh Alfa, Lampir tetap menepuk pundak lelaki itu, lalu berteriak tepat di telinganya. "Alfa! Bangun!"

"Cih, dia tidak akan terbangun, kecuali pakai cara elit," ujar seseorang yang berada di belakang meja mereka.

Lampir berbalik dan menatap Arsen dengan alis terangkat. "Bagaimana? Saya tak mengerti maksud dari perkataanmu."

"Sebelumnya kamu harus janji dulu, kalau kamu yang menyuruh aku untuk melakukan ini."

Lampir mengangguk. "Ya, janji."

Arsenal bangkit dari duduknya, kemudian menggantikan posisi Lampir yang berada tepat di sebelah Alfa. Lelaki itu memulai aksi busuknya.

Dimulai dari melepaskan sepatu, lalu membuka kaus kaki, dan yang terakhir mendekatkan kaus kaki itu ke hidung Alfa. Setelahnya, Arsen menyimpan benda tersebut, lalu keluar dengan terbirit-birit.

"Kenapa?" Lampir mendekati meja Alfa untuk mencium benda hitam yang digunakan Arsenal untuk membangunkan Alfa. "Bau sekali."

Lampir menutup hidung dengan satu tangannya sembari keluar dari kelas.

"Kalau saya tak memakai kalung ini, mungkin saya tak akan mencium bau kotoran itu."

Baru saja menghirup udara segar, Lampir terkesiap oleh teriakan dari belakang. "Arsen!"

Ternyata, Alfa telah bangun dengan wajah yang tak karuan serta mulut yang dibekap. Hampir saja Alfa memuntahkan seluruh makanan yang terisi di perutnya di depan kelas kalau ia tak segera berlari menuju toilet. Setelah sampai di wastafel, Alfa langsung mengeluarkan semua makanan yang ada di perutnya dan usai dari situ ia keluar untuk mencari dalang dari semua ini.

"Shit! Woi Arsen! Kamu di mana?!"
Alfa bertanya kepada siswa yang berada di sekitarnya. "Di mana Arsen! Jawab!"

Mereka semua ketakutan melihat Alfa yang seperti orang kerasukan. Mata memerah dan urat-urat di sekitar lehernya mulai bermunculan. Alfa mendekati laki-laki berkaca mata tebal yang tengah berdiri di anak tangga. "Kamu pasti tahu kan di mana Arsen! Di mana dia?!"

Bukannya menjawab, siswa itu malah menundukkan kepalanya dan membisu. Karena tak ada jawaban, Alfa pun bertanya sekali lagi dengan nada tinggi, "Jawab aku! Di mana Arsen!"

"D-di san-n-na," jawabnya dengan menunjuk ke kantin.

"Awas, kalau kamu bohong!"

Alfa mengamati setiap sudut kantin yang saat ini tengah padat, tetapi ia sama sekali tak menemukan lelaki berponi itu. "Di mana, dia?" tanya Alfa pada diri sendiri.

"Apa mungkin sudah ke kelas, ya?"

Baru saja Alfa berbalik dan hendak melangkah menuju kelas, tetapi Indra pendengarannya menangkap sebuah suara yang sangat ia kenal.

"Sen! Cepat keluar! Bantu saya menaruh bakpao!"

"Itukan suara pak Gigi. Oh iya, pak Gigi kan Om nya Arsen." Seringai devil terulas pada bibir Alfa. "Kali ini kamu akan tertangkap."

Vindicta ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang