Rindu Kegelapan

22 5 0
                                    

"Seandainya bunuh diri itu tidak dilarang oleh Tuhan, dan tidak ada rasa sakit saat prosesnya. Maka, aku sudah melakukan itu."

Namaku adalah Agung. Aku seorang anak kecil, tidak terlalu kecil sih. Kalau disebut orang dewasa, tidak terlalu dewasa sih. Mungkin yang cocok bisa dibilang seorang remaja.

Aku dari tadi harus membereskan tugas membuat cerpen ini. Tugas dari wali kelasku. Ya, walaupun sih aku sudah tidak kuat mengerjakan tugas ini. Saat aku mengerjakan matematika, ya aku harus mengarang jawabannya. Saat aku mengerjakan tugas sastra, ya aku harus berpikirnya. Aneh kan? Ya begitulah diriku ini.

"Yeah, akhirnya beres juga tugas ini," kataku yang bahagia bisa membereskan tugas membuat cerpen ini. Capek sih mengerjakan tugas cerpen ini. Masa aku harus membutuhkan waktu 3 jam untuk mengerjakan ini.

"Berhubung hari mulai gelap, mendingan aku pulang aja deh," kataku sambil membereskan perlengkapan menulis ini. Memang sih, aku mengerjakan tugas ini dari sore, dan sekarang udah mulai malam. Aku ngerjainnya sendirian lagi, terus di taman kota lagi. Astaga, betapa sepinya diriku ini. Tak ada teman, tak ada siapapun.

Aku pun langsung pergi ke kostan. Ya walaupun sih, jarak taman kota dengan kostan gak jauh amat. Tapi, aku benar-benar capek ini jalannya. Aku lupa bawa uang, makanan, minuman lagian. Astaga diriku ini.

"Yeah sudah sampai kostan," girangnya diriku ini. Aku langsung pergi ke kamarku. Namun saat diperjalanan, kudengar teman-teman kostku sedangkan membicarakan sesuatu.

"Eh, Reza. Nanti kamu mau kado apa ke Ayah kamu?" tanya Naufal. Kebetulan, sekarang itu bertepatan dengan Hari Ayah. Jadi, orang-orang sibuk membicarakan tentang Hari Ayah.

"Aku sih mau kado jam tangan deh," jawab Reza. Reza lahir di keluarga yang lumayan berada.

"Kalau aku sih, traktir Ayahku beli pakaian," ucap Rangga yang sok asik. Rangga emang gitu orangnya. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.

"Yang nanya ke kamu siapa?" tanya Reza yang kebingungan atas ucapan Rangga.

"Ya elah, aku cuma jawab doang," jawab Rangga.

"Au ah," ucap Reza yang singkat.

"Sudah-sudah, tuh ada Agung," pungkas Naufal sambil menunjukku yang tengah berjalan menuju kamarku. Ya sudah, diriku langsung menemui mereka saja.

"Iya, ada apa?" tanyaku yang singkat.

"Nanti kamu mau ngasih apa ke Ayahmu?" tanya Rangga. Kebetulan, aku tidak tahu harus ngasih apa nanti ke Ayahku. Kan Ayahku sudah tidak ada. Ayahku sudah lama meninggal. Jadi, mendingan ngasih apa ya? Kupikir sih ngasih Bunga Mawar. Karena apa? Karena itu bunga kesukaanku.

"Hmm, aku mau ngasih Bunga Mawar nanti," jawabku yang singkat. Namun, bukan hal positif yang kuterima saat menjawab pertanyaan dia. Tapi hal negatif. Sesuatu hal yang sudah mencoret hatiku ini.

"Ciah Bunga Mawar. Itu mah kebiasaan anak cewek. Emangnya kamu cewek hah?" ujar Reza yang penuh dengan penekanan. Saat aku mendengar ucapan Reza, hatiku seketika tergores dengan ucapannya.

"YA TERSERAH AKU, BODOH!" ucapku yang benar-benar emosi. Reza, Rangga, dan Naufal tahu, kalau aku emosi, ya berarti hatiku tergores. Aku pun langsung pergi saja ke kamar. Apa gunanya aku berurusan sama mereka.

"Eh, aku kangen sama Ayah," gumamku sambil membantingkan tubuhku ini ke atas kasur. Aku merasa sedih dan bahagia. Sedih karena aku kangen dengan Ayahku, dan bahagia karena aku bisa mengistirahatkan tubuhku ini di atas kasur. Pegel sih pas aku ngerjain tugas membuat cerpen tadi.

"Eh, kalau aku bunuh diri, kayaknya aku bisa secepatnya bertemu dengan Ayahku deh," ucapku yang bahagia. Aku kan gak mau lama-lama merindukan Ayahku. Terus, menurutku itu, kalau bunuh diri itu sah-sah saja. Yang punya urusannya kan aku, bukan orang lain.

Aku pun langsung pergi ke dapur yang tak jauh dari kamarku. Aku mengambil sebuah pisau yang tajam, agar biar cepat dalam prosesnya. Daripada nanti aku harus kesakitan ah, mendingan yang tajam aja. Setelah mengambil pisau, aku pun langsung pergi ke kamarku. Aku merasa was-was, karena takut diliatin oleh orang-orang. Dan, nanti malah rencanaku gagal. Aku pun langsung mencoba mengarahkan pisau ini ke urat nadiku.

"JANGAN!" teriak seseorang yang seperti melarangku untuk melakukan bunuh diri ini. Seketika, pisau ini kulempar ke lantai. Dan, kepalaku tiba-tiba terasa sakit hebat.

"Arghhhhh," teriakku yang kesakitan. Aku tak tahan menahan rasa sakit kepalaku ini. Aku langsung merasa lemas. Dan, aku pun langsung pingsan.

Entah kenapa, penglihatanku hanya gelap. Tak ada sebuah warna lainnya, melainkan hanya hitam saja. Tak ada sebuah suara, melainkan hanyalah sebuah kesunyian yang ada. Apa ini hukuman untukku? Aku sudah melakukan hal yang dibenci Tuhan.

"Agung, bangun," ucap seseorang yang paling aku kenal. Suara yang aku kenal sejak bayi. Suara yang aku rindukan. Suara yang aku sayang. Seketika aku bangun dari kegelapan itu.

"Bapak?" ucapku yang benar-benar tidak percaya dengan kehadiran Bapakku. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ini sebuah ilusi? Aku tak tahu harus berpikir apa. Tapi, aku merasa sangat bahagia. Orang yang gua rindukan, akhirnya datang juga.

"Agung, ini Bapak. Bapak yang sudah merawatmu sejak kecil. Apa kabar denganmu?" tanya Bapaku. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini. Aku seketika menangis. Aku sudah tidak bisa membendung air mata ini.

"Agung sehat kok, Pak," jawabku sambil menangis. Bapak sedikit tertawa, karena melihat putranya yang menangis. Bapak bahagia, karena bisa melihat putranya yang sudah tumbuh besar.

"Lho, kok kamu menangis? Sudah-sudah, dilap dulu tuh air matamu," ujar Bapak.

"Soalnya Agung bisa bertemu dengan Bapak sih. Kan aku sudah rindu berat," ucapku sambil mengelap air mata ini.

"Sudah mengelapnya? Ya sudah, Bapak cuma mau ngomong sesuatu. Ini tentang hal yang harus kamu ingat," ucap Bapak. Saat aku mendengar ucapan Bapak, aku langsung berpikir bahwa Bapak ada yang serius mau diucapkan.

"Jangan pernah sesekali bunuh diri. Karena, nanti arwahmu tidak akan diterima di bumi maupun di akhirat nantinya," kata Bapak. Aku pun benar-benar merasa bersalah.

"Bapak?" ucapku. Aku benar-benar merasakan kesedihan. Aku sudah melakukan hal yang buruk.

"Iya, Agung," jawab Bapak.

"Agung minta maaf ya, tadi sudah hampir melakukan kesalahan yang besar," kataku yang sambil bersedih memikirkan kesalahan tadi.

"Minta maafnya ke Tuhan. Jangan ke Bapak ya," jawab Bapak.

"Iya, Pak. Makasih sudah menyelamatkan Agung dari kesalahan besar tadi," ucapku yang langsung memeluk Bapak.

Maafkan aku Ya Tuhan, karena aku sudah hampir melakukan kesalahan besar tadi. Aku sudah melakukan hal keji. Aku tak akan pernah melakukan lagi.

Antologi SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang