Kekasih Terindahku, Dulu

56 0 0
                                    

Kekasih terindah.

Mungkin hanya engkaulah yang mampu aku sebut sebagai kekasih terindah. Selama kita menjalin kisah, berbagi rasa menolak nestapa. Dirimulah yang paling mengerti aku dan akupun begitu. Kau selalu ada di sampingku dikala suka maupun duka.

Masih ingatkah kau saat itu?

Saat dimana kita duduk berdampingan di atas sebuah ayunan di perpustakaan daerah, kita berbincang mulai dari pembahasan yang biasa sampai yang luar biasa.

Ada di satu pembicaraan kita saat itu, yang masih ku ingat sampai sekarang.

Kita berbicara tentang masa depan, dimana kita duduk berdua berdampingan di atas pelaminan. Saat itu aku tak percaya kau berbicara tentang itu. Ya, itu seperti bukan dirimu yang biasanya. Kau yang selalu menghindar dari pembicaraan tentang masa depan malah membahas tentang masa depan. Membuatku tak percaya apakah itu benar-benar kau atau hanya alien yang menyamar.

Kalau tak salah kau berkata “Dei, jika kita ditakdirkan bersama. Apakah kau mau menjadi pendamping diriku ini?”

Aku yang saat itu hanya bisa tersenyum menanggapi perkataanmu.

Mungkin, saat itu kau bertanya. Kenapa aku tak menjawab dan hanya tersenyum saja?

Aku bukan tak ingin menjawab, hanya saja aku berpikir jika Tuhan mempunyai rencana lain tentang kita. Maka jawabanku hanyalah omong kosong belaka dan aku tak ingin itu terjadi.

Kulihat raut wajahmu menyiratkan kekesalan dan keimutan akibat kau yang memiliki pipi chubby malah mengembungkan pipimu. Hah, ingin rasanya aku mencubit pipimu saat itu.

Hahaha, maaf-maaf mungkin kau kesal saat membaca ini.

Tapi yakinlah, apa yang aku tulis ini berasal dari hati.

Hahaha, aku tak pernah berharap kita kembali saat kau selesai membaca ini. Aku hanya ingin kembali mengenang masa itu, apakah itu salah?

Oke-oke aku tak akan lagi membahas tentang pipimu yang chubby itu.

Hmm,,,.
Lalu apa lagi ya, yang harus aku bahas tentang kau, kekasih terindahku?

Ah, itu dia.

Saat kita pertama kali bertemu, saat dimana kita belum mengenal, lalu mengenal, dan pada akhirnya berpura-pura tidak saling mengenal.

Aku masih ingat, pertemuan pertama kita.

Kita bertemu di lorong sekolah, saat itu kau datang terlambat dan aku berada disaat yang kurang tepat. Ya, saat itu aku terjaring razia yang paling ditakuti siswa laki-laki. Kepalaku bahkan terbentuk danau Toba yang lumayan besar, malu sekali rasanya. Apalagi saat itu kau memandang ke arahku sembari tertawa kecil.

Hah, terima kasih Pak Okta. Kau menjadikan aku seorang pelawak yang sukses membuat dia (dirimu, Fe) tertawa dan merasa bahagia selama dua tahun kita bersama.

Setelah kejadian memalukan di lorong sekolah itu, aku mencari informasi tentangmu. Aku kerahkan semua pasukanku yang hanya terdiri dari satu orang saja, yaitu aku.

Semua bagian sekolah ku selidiki, bahkan tempat-tempat yang mustahil aku kunjungi pun aku datangi.

Tiga hari, terasa lelah mencari dirimu. Dan akhirnya,,,,,
Kau datang!

Duduk di sampingku yang sedang beristirahat melepas penat selepas pergi mencari dirimu.

Kau mengajakku berbicara saat itu, dan rasanya aku seperti sedang berada di surga. Mimpi apa aku saat itu, sampai seorang bidadari duduk dan mengajakku berkenalan.

“Hai, namaku Felia Trisantika. Namamu?” tanyamu saat itu lalu mengangkat tangan mengajakku bersalaman.

“D-Dei, Dei Brawijaya.”

Gugup? jelas saja!

Kuharap, saat itu aku tak tersenyum aneh kepadamu.

“Aku dengar dari temanku, kau mencari aku ya?” ucapmu sembari tersenyum dengan manisnya.

“Iya, maaf jika itu membuatmu tak nyaman.”

Aku menunduk, jujur aku merasa tak enak denganmu saat itu. Aku merasa seperti seorang penguntit yang sedang mencari korban saat itu.

“Hahaha, tak apa. Aku malah senang saat seseorang mencari diriku, berarti aku adalah orang yang penting bagi dirinya.”

Namun, tawamu saat itu membuatku lega.

“.....”

Bahkan aku sampai terdiam mendengar tawamu, oh Tuhan terima kasih kau turunkan seorang bidadari untuk menemaniku saat itu.

“Hihihi, maaf bukan maksudku seperti itu.”

Dia tertawa kembali. Aku pun tersenyum sembari menikmati tawa indah miliknya.

“Iya, tak apa. Aku malah senang saat seseorang tertawa karena aku, berarti aku adalah orang yang spesial bagi dirinya.”

Entah angin apa yang membuatku berkata seperti itu dengan mudahnya.

“....”

Kau terdiam.

Terlihat rona merah muda tipis di pipi chubbymu itu, bahkan sampai sekarang pun aku tak mengerti arti dari rona tipis di wajahmu itu.

“Kamu bisa saja, Dei.”

“Dei Brawijaya, gitu loh!” ucapku sembari menirukan gaya seorang kesastria yang memegang sebuah pedang.

Dulu aku begitu lucu bukan?

Jika kau ingin tertawa setelah membaca ini maka aku persilahkan.

“Oh ya Dei, aku boleh minta id linemu?” ucapmu sembari menyodorkan ponsel pintar milikmu itu kepadaku.

“Jangan Fel.” tolakku sembari mengangkat tangan melakukan gestur penolakkan.

“Eh kenapa?”

“Seorang perempuan tak diizinkan untuk meminta kontak seorang laki-laki, terlebih dahulu.”

Dari mana aku mendapatkan kata-kata menyebalkan ini dulu,-

“Ah, benarkah? Maaf-maaf.”

“Baiklah, karena aku adalah laki-laki sejati maka tuan putri bolehkah aku meminta id linemu?” ucapku saat itu sambil memperagakan gerakan seorang pria yang ingin melamar kekasihnya, lalu memberikan ponsel pintarku padamu.

Kau mengambilkan ponselku lalu menuliskan id linemu. “Hihihi, boleh kok. ini id lineku pangeran Dei.”

“Terima kasih putri Felia.”

Tet..... tet..... tetew....

Bel berbunyi mengakhiri pembicaraan singkat kita yang penuh arti bagi diriku.

“Ah, bel berbunyi. Aku ke kelas ya, Fel.”

“Iya Dei, kita lanjutkan di line ya!”

“Iya tuan putri.” ujarku sembari melangkahkan kaki menuju kelas.

Ah, senang rasanya. Kita bisa berbicara tanpa kecanggungan saat itu. Bahkan pembicaraan receh itupun sampai ke line malamnya, kita terus chating sampai saat dimana aku menyatakan perasaanku dan kau menjawab dengan kata yang paling aku inginkan saat itu.

Ya, jawabmu dan kita pun resmi berpacaran saat itu. Rasanya saat itu aku seperti Dilan dan inginku bawa kau dengan sepeda motor lalu mengelilingi kota Palembang layaknya Milea, tapi apa daya aku tak memiliki motor yang dapat aku gunakan untuk membawamu, mengukir kenangan di jalanan kota kita tercinta.

Sejak saat itu, kita selalu bersama. Baik di sekolah maupun di luar sekolah, kita selalu berbagi kisah. Mungkin telah ratusan kisah kita tulis bersama, mulai dari suka yang penuh kegembiraan sampai duka yang membawa kesedihan.

Ya, kesedihan yang memuncak ketika kau memutuskan untuk tak lagi bersamaku dan berpura-pura tak saling mengenal bahkan sekedar sapa pun tak lagi terdengar.

Hahaha. Mari kita lupakan kisah penuh kesedihan kita dulu, karena hal itu tak akan pernah kembali lagi. Mari kita bangun kembali kisah penuh kegembiraan kita masing-masing.

Perihal Rasa, Aku Selalu SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang