Perihal Rasa, Aku Selalu Salah

Surat untukmu, wahai kau masa laluku

Hai, apa kabar?

Aku harap, kau sedang baik-baik saja.

Mungkin, saat kau membaca ini, kau sedang bersama dengannya.

Tak apa, aku malah senang, dan aku juga ingin berterima kasih kepadanya.

Sebab ia, kau bahagia selepas kepergianku.

Sebab ia, kaupun bisa tersenyum kembali dengan lebarnya,
Dan sebab ia juga, kita berpisah dan aku pergi menjauh, sebab kau lebih bahagia dengan dia ketimbang dengan diriku ini.

Hahaha, maaf bukan maksudku seperti itu.

Mungkin, aku hanya sedikit mengenang, asal muasal perpisahan kita.

Oh ya, aku sekarang. Mulai sedikit bahagia, aku mulai tertawa lagi walau saat mengingatmu aku menangis dengan sekeras-kerasnya.

Tak apa, hei kau jangan menyesal seperti itu. Kau juga harus bahagia dengan dia, tertawa sepertiku walau tak lagi bersamaku.

Aku sekarang pun. Mulai membuka kembali hati ini walau luka yang kau berikan dulu masih membekas sempurna pada diriku.

Hei, kenapa wajah seperti itu? Aku sudah bilang kan, tak apa. Kau harus bahagia biar kesedihan kita dulu, aku yang membawanya. Lupakanlah karena tugasmu adalah bahagia sedangkan aku membawa segala luka dan duka saat kita masih bersama dulu.

Masih tergambar jelas diingatanku, kau menangis waktu itu, saat aku sedikit bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana,  dan ironisnya sekarang kejadian itu terulang kembali walau yang merasakannya adalah aku bukan dirimu.

Tak apa, sekarang aku sudah bahagia dengan segala apa yang aku punya walau hati belum sembuh dengan sempurna.

Sudah banyak kata yang ku tuliskan, semoga kau membacanya walau tak niat membukanya, semoga kau tertawa walau hatiku meringis melihatmu tertawa dengannya.

Akhir kata, ku ucapkan semoga kau bahagia walau hati ini enggan berkata seperti itu.

Titip salam, untuk dia yang kau percaya menjagamu, katakan kepadanya “Kau pria beruntung, dicintai oleh dia. Tolong jangan sakitinya karena kasih dan sayangku masih untuknya, terima kasih.”

Tolong ya.