Bagian2

191 8 0
                                    

Hamparan sawah menghiasi pemandangan di antara jalan setapak. Tampak dari kejauhan sebuah gunung yang begitu angkuh bertengger di sana. Ayah memboyong kami di tempat hunian yang baru. Baru satu bangunan rumah yang berdiri di sini. Kawasan yang sunyi jauh dari deru mesin motor, hanya suara sekelompok burung saling bersahutan kala pagi menjelang sore. Tampak juga para petani sesekali berkunjung ke sawahnya dan para penggembala ternak.

Menikmati malam tanpa penerangan listrik menambah dukaku kala ingin belajar, cahaya lampu petromak yang menggantung di tengah ruangan tak cukup untuk melihat tulisan di buku.

Sunyi, sepi dan senyap itulah gambaran rumah yang dipinjamkan bos Ayah untuk dijaga dan dirawat. Kala malam datang suara kodok bersahutan menemani kami menghabiskan gelap.

Kudekati Ibu yang tengah mengayun Dayu dalam gendongan, sesekali Ibu mengitari rumah sambil bergumam yang tak kumengerti. Dayu menangis hebat, padahal Ayah sedang tak ada di rumah. Asti juga telah terlelap.

"Kenapa Dayu menangis terus, Bu? Apakah dia lapar?" tanyaku pada Ibu yang menepuk-nepukkan pelan tangannya ke pantat Dayu.

"Kayaknya, Adikmu kena sawan, Kinanti. Dari tadi nangis terus, pandangan selalu ke atas dan meronta-ronta," jelas Ibu padaku.

Aku terdiam dan mengingat cerita Mbah Dukun Tarti kalau anak kecil kena sawan itu artinya ia tengah melihat mahkluk ghaib. Mungkin itu juga yang terjadi pada Dayu.

Ayah tak kunjung pulang, aku sendiri juga merasa ketakutan berada di rumah baru ini. Entah apa yang Ibu lakukan, lambat laun tangisan Dayu mereda.

"Dayu udah tidur, sekarang Kinanti cepet tidur juga! Besok sekolah, kan?" ujar Ibu seraya memasuki kamarnya. Aku bergegas masuk kamar, menyusul Asti yang terlelap di sisi ranjang.

Malam kian merangkak naik, hawa dingin pun menusuk rongga-rongga kulit, kuraih selimut lumayan lebar untuk menutupi tubuh kami berdua. Mata tak jua terpejam, kupandangi langit-langit kamar tanpa plafon itu. 'Kemana Ayah, udah jam segini belum pulang juga?' batinku bergumam.

Hawa dingin terus menyusup ke kulit membuatku ingin buang air kecil. Kusibakkan selimut, kemudian turun dari ranjang dan berjalan pelan ke bibir pintu kamar.

Sregggggg

Suara pintu setelah gagangnya kutarik pelan. Menoleh ke segala arah kemudian berjalan ke kamar mandi samping ruangan dapur. Usai buang air kecil langkahku ingin segera kembali ke kamar. Air yang mengguyur kaki sangat dingin seperti es.

Saat hendak melangkah ke luar dari kamar mandi, mendadak wajah tersapu hembusan asap putih yang melintas di depan mata. Hati yang penasaran, menuntunku mendekati arah asap yang berkelebat tadi, tepatnya menuju kamar kosong. Kusibakkan tirai kain kamar yang tak berpintu, dalam keremangan cahaya lampu petromak, kulihat sesosok perempuan berbaju putih, berambut panjang sedang memainkan ujung rambutnya dengan tangan. Tubuhku gemetar, langkah mendadak kaku, ingin berteriak namun lidah terasa kelu. 'Ibu, tolong aku! Kinanti takut, Bu.' Batinku berteriak.

Dalam gerak yang memaku, nalarku teringat hafalan surat-surat pendek yang diberikan Pak Guru Zainul di sekolah. Kubaca dalam hati beberapa surat pendek itu, berusaha kuedarkan pandangan ke segala arah. Sosok berbaju putih mendadak hilang, melesat entah kemana.

Aku sedikit merasakan lega, walaupun detakan jantung masih tak beraturan. Setengah berlari memasuki kamar Ibu, dan merebahkan badan di samping Ibu yang memeluk Dayu.

Seperti merasakan kehadiranku, Ibu menoleh ke arahku yang berada tepat di sampingnya. Detak jantung masih tidak beraturan, ditambah ingatan yang masih menerawang sosok yang baru saja kulihat.

"Kinanti, kenapa tidur di sini? Asti sendirian di kamar," tanya Ibu padaku yang tengah meringkuk di tepi ranjang.

"Ki-ki-kinanti takut, Bu," jawabku terbata sembari menggigit ujung kuku jari.

Tabir Misteri Hidup KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang