Bagian6

152 9 1
                                    

Tiba di rumah segera mengurung diri di kamar. Goresan pena perlahan menari-nari di atas lembaran buku. Aku selalu menulis setiap kejadian yang menimpaku, tak terkecuali pengalaman menjijikkan itu. Kubaca lagi buku harian membuat dadaku terasa nyeri. Benci dan dendam kepada manusia-manusia bejat itu mulai merasuk dalam jiwa.

Pagi menjelang, tanpa sarapan segera berpamitan pada Ibu untuk berangkat ke sekolah. Kukayuh sekencang mungkin sepeda ontel. Maklum, hari ini bangun kesiangan jadi takut terlambat tiba di sekolah.

Jam pelajaran pertama dimulai dengan pelajaran matematika. Pak Bambang yang mengajar mata pelajaran tersebut. Beliau adalah guru yang paling ditakuti murid di antara guru yang lain.

Pak Bambang menerangkan di papan tulis. Pada awalnya, aku sangat memperhatikan akan tetapi lambat laun konsentrasiku berganti dengan lamunan tentang kejadian menjijikkan yang kualami kemarin sore. Sebuah kapur mendarat di pipi membuatku terkejut. Seketika pandangan seisi kelas tertuju padaku.

"Kinanti, sini maju! Tolong kerjakan soal itu!" seru Pak Bambang.

Aku bangkit dari duduk kemudian berjalan pelan menuju papan tulis. Jantung berdebar hebat, seketika keringat dingin membasahi kulit dan telapak tangan. Rasa gugup dan ketakutan jika salah mengerjakan soal menghantuiku. Ya Tuhan, tolong aku!

Usai mengerjakan soal, bergegas kembali ke tempat dudukku. Pak Bambang tampak tersenyum, entah senyum meledek karena jawabanku salah atau apa.

"Kinanti, jawabanmu benar!" tegasnya membuatku terkejut.

Aku merasa lega walaupun hanya menerka-nerka ternyata bisa mengerjakan soal tersebut. Andai saja salah, mungkin makian ataupun apa sudah kuterima karena Pak Bambang tahu aku tidak memperhatikannya tadi.

Jam istirahat tiba. Aku yang sedang malas keluar dari ruang kelas lebih asyik menyandarkan kepala di meja karena mengantuk.

"Kinanti! Bel udah berbunyi. Kamu ketiduran, ya?" Seorang teman menepuk bahuku pelan seraya bertanya. Aku mendongak, ternyata Rio, teman sekelas membangunkanku.

Jam pelajaran terakhir hampir usai. Rasa kantuk membuatku ingin segera pulang. Aku menguap berkali-kali hingga tak sadar jika Rio memperhatikanku seraya menahan tertawanya.

Lambat laun diam-diam aku mengagumi Rio, sesekali mencuri pandang saat mengikuti pelajaran di kelas. Aku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Terkadang Rio membalas senyuman ketika memergokiku saat memandangnya dari kejauhan.

Rasa cintaku terhadap Rio tak mampu terungkap hingga hari kelulusan tiba. Aku hanya memendamnya sendiri dalam dada. Ingin rasanya menceritakan tentang perasaan cintaku terhadap Rio kepada Riani, sahabatku. Namun, lagi-lagi hati ini hanya bisa mengumbar niat saja.

***

Ibu melahirkan seorang adik laki-laki lagi saat liburan kelulusan SMP. Ayah yang mulai bisa mencari nafkah lagi tampak bahagia dengan kelahiran sang anak lelaki yang diinginkannya. Ibu terpaksa melahirkan di Rumah Sakit, karena riwayat penyakitnya tidak memungkinkan untuk melahirkan dengan pertolongan dukun bayi saja.

Biaya persalinan yang tidak sedikit membuat Ayah sibuk mencari pinjaman untuk tambahan biaya Rumah Sakit. Aku sendiri juga merasa ketakutan jika tidak bisa melanjutkan sekolah karena terkendala biaya.

Aku mendekati bibir pintu kamar Ayah dan Ibu. Tampak Ayah sedang menulis sesuatu di buku, sedangkan Ibu tidur di ranjang bersama adik bayi.

"Ayah!" panggilku.

"Iya, Kinanti. Ada apa?"

"Yah, besok udah mulai pendaftaran SMA. Ayah mengantarkanku, kan?"

Tak ada sahutan dari Ayah, malah justru Ibu tampak bangun dari tidurnya.

"Kinanti gak usah nglanjutin sekolah aja, mendingan lulus SMP langsung cari kerja di pabrik. Toh, perempuan nanti ujung-ujungnya juga di dapur!" sergah Ibu.

"Iya, Kinanti, soalnya Bapak juga udah gak punya biaya," sambung Ayah kemudian.

Mendengar pernyataan kedua orangtuaku tak terasa airmata meleleh di pipi. Aku segera berlalu meninggalkan kamar mereka menuju kamar sendiri. Membenamkan diri di kasur dan menumpahkan semua tangisan. Dunia serasa tidak adil.

Usai Subuh aku menuju rumah Riani untuk menceritakan kegundahan hatiku yang tidak diizinkan melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

"Udah, ayo aji mumpung aja daftar ke sekolah yang sama denganku. Gak usah risaukan orangtuamu dulu, siapa tau nanti mereka berubah pikiran. Kutunggu jam delapan di sini, ya!" ujar Riani memberikan solusi padaku.

Aku bergegas pulang dan bersiap untuk mendaftar sekolah bersama dengan Riani.

***

Pengumuman penerimaan siswa baru tertempel di mading sekolah. Namaku tercantum menjadi salah satu siswa baru yang diterima begitupun nama Riani. Aku sangat senang, selain bisa satu sekolah lagi dengannya, nyatanya Ayah dan Ibu akhirnya luluh juga dengan tekadku.

Teman-teman semasa SMP ternyata sebagian menjadi temanku juga di SMA. Akan tetapi tidak dengan Rio. Ia lebih suka masuk ke SMK.

Kali ini aku terpisah dengan Riani saat pembagian kelas. Justru aku sekelas dengan Adit yang sejak kelas satu SMP naksir Riani. Setiap berangkat dan pulang sekolah selalu bersama Riani yang memang satu kampung denganku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku yang keluar lebih dulu berusaha menghampiri kelas Riani untuk menunggunya. Kami berdua menanti kendaraan di jalan depan sekolah. Kendaraan umum bercat kuning tepat berhenti di depan kami. Segera kami menaikinya menuju pulang.

"Eh, Dek Kinanti dan Dek Riani, tho?" sapa Mas Galih tetanggaku yang kebetulan mengganti sang kakak untuk menyopir kendaraan umum yang menarik penumpang melintasi sekolah kami.

"Iya, Mas," jawabku.

Riani hanya tersenyum, sementara kendaraan terus melaju. Satu persatu penumpang turun di tempat yang diinginkan menyisakan aku dan Riani. Sebentar lagi giliran kami yang turun di tempat yang kami inginkan.

"Dek Kinanti dan Dek Riani gak usah turun di sini, Mas anter sampai rumah saja. Kebetulan sekalian pulang!" serunya kepada kami.

"Wah, kebetulan kalo gitu, Mas, malah gak capek-capek jalan sampai rumah," sambung Riani kemudian.

Aku hanya tersenyum di dalam kendaraan yang telah memasuki jalan kampung menuju rumah kami masing-masing. Riani turun di depan rumahnya, tinggal menyisakan aku dan Mas Galih sebagai sopirnya.

"Besok bareng Mas lagi aja, Dek, pulangnya. Biar gak capek jalan kaki!" celetuknya.

"Iya, Mas."

Aku turun di depan gang arah masuk menuju rumah. Tampak Mas Galih tersenyum padaku.

***

Seperti biasanya tiap kali pulang sekolah, Aku dan Riani menumpang kendaraan umum Mas Galih sebagai sopirnya. Saat kendaraan melaju menuju rumah, kupergoki Mas Galih melirik ke arah kami lewat kaca spion.

Usai Maghrib tampak Mas Galih ngobrol dengan Paklik Wanto yang terlibat perang dingin denganku. Diam-diam kuperhatikan segala gerak-gerik Mas Galih. Wajah yang manis berlesung pipit, hidung mancung dan pembawaan yang ramah, membuat hati ini lambat laun terpesona pada Mas Galih.

Hari-hari berlalu, diam-diam aku semakin jatuh cinta pada Mas Galih. Sosoknya mampu menggantikan Rio yang selama ini mencuri perhatianku.

"Dek, nanti abis Maghrib ada waktu, gak, Dek?" tanya Mas Galih sebelum diriku berlalu usai turun dari kendaraannya.

"Ada. Emang ada apa, ya, Mas?" jawab sekaligus tanyaku kemudian.

"Ada yang mau kuomongin. Penting!" timpalnya.

Aku tersenyum seraya menahan debar di dada. Wajahku seketika merona mendengar Mas Galih mau bicara sesuatu yang penting denganku.

Aku masih mematut di depan cermin sebelum kedatangan Mas Galih. Jantungku semakin berdebar saat Mas Galih mengucapkan salam dan memanggil namaku. 'Mungkinkah Mas Galih mempunyai perasaan yang sama denganku?' gumamku.

Tabir Misteri Hidup KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang