Bagian7

183 17 1
                                    

Duduk bersebelahan dengan Mas Galih di teras. Aroma parfumnya menguar hingga menusuk hidungku. Kami masih saling diam. Mungkin, Mas Galih baru mempersiapkan kekuatan sebelum berbicara denganku.

Debar jantungku makin berdegup kencang, pipi pun serasa merona. Sesekali kulirik lelaki berbaju kemeja warna marun dengan motif kotak-kotak itu. 'Ayo, Mas Galih, cepat! Apa sih yang mau diomongin?' gumam batinku tidak sabar.

Mas Galih tampak membetulkan posisi duduknya, kemudian membelokkan tubuhnya sehingga berhadapan denganku. Tatapan Mas Galih nyalang, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Dek Kinanti!" ujarnya memulai pembicaraan.

"Iya. Oh ya, Mas Galih mau ngomong apa sama Kinanti? Dari tadi kok malah diam."

"Gini, Dek. Gimana mau mulainya, ya?" celetuknya.

Aku tak menyahut, hanya seulas senyum menanggapinya.

"Menurut yang Dek Kinanti kenal, aku ini orang gimana?" tanyanya membuatku sedikit kebingungan.

"Selama mengenal Mas Galih, jujur, Mas orangnya baik gak neko-neko."

"Terus ... kira-kira kalo aku naksir Riani, pantas gak, Dek?"

Mendengar pernyataan Mas Galih seketika terkejut, batinku mendadak kecewa. Wajahku berubah pias dan muram. Angan-anganku tentang perasaan Mas Galih ternyata salah.

"A-a-ku gak tau, Mas." Terbata-bata menjawab tanyanya.

"Tapi, Dek Riani udah punya pacar belum ya, Dek?"

"Sepengetahuanku belum punya, tapi kalo yang naksir dia banyak, Mas."

"Minta tolong comblangin sama dia, Dek! serunya kemudian.

"Comblangin?"

"Iya. Tolong ya, Dek!"

"Kuusahakan, tapi gak janji ya, Mas."

Batinku terasa nyeri memendam kekecewaan. Rasa cinta yang tumbuh justru layu sebelum mekar.

Mas Galih berpamitan pulang, aku pun segera membenamkan diri di kamar. Lagi-lagi kekecewaanku berusaha kugoreskan lewat tinta di buku harianku.

***

Aku dan Riani kali ini tidak menumpang kendaraan milik Mas Galih karena ditunggu tak jua melintas di depan sekolah. Kesempatan ini kugunakan untuk membantu upaya Mas Galih mendekati Riani.

Kuabaikan batinku yang nyeri karena patah hati. Berusaha untuk mengorek sedikit demi sedikit tentang perasaan Riani terhadap Mas Galih.

Waktu berlalu, Mas Galih makin sering datang ke rumah menanyakan perkembangan usahaku untuk membantunya mendekati Riani. Perasaanku pun semakin pilu.

"Bagaimana, Dek? tanyanya.

"Sabar dulu ya, Mas!"

"Makasih ya, Dek.

Aku tersenyum untuk menutupi kegetiran dalam batin. Andai saja dunia ini adil padaku, mungkin bahagia akan sedikit kukecap.

Rasa sungkan terhadap Mas Galih singgah di benak, membuatku segera mengeluarkan jurus-jurus agar Riani menerima cintanya.

"Bagaimana Riani? Jangan tolak ya, plis!" ujarku memohon.

"Ya udah deh akan kucoba jalani dulu. Tapi jujur Kinanti, rasa cintaku belum ada untuk Mas Galih," jawabnya.

Aku merasa lega dengan jawaban Riani. Ada rasa bangga bisa membantu Mas Galih.

***

Mas Galih dan Riani akhirnya menjadi sepasang kekasih. Untuk kencan perdana, Riani terpaksa mengajakku untuk menemaninya.

Dengan menumpang kendaraan umum milik Mas Galih yang biasa untuk menarik penumpang, kami bertiga melewati jalan di lereng pegunungan. Riani duduk di jok depan sebelah Mas Galih yang sekaligus menjadi sopir, sedangkan diriku sendirian di belakang.

Kupandangi gemerlapnya lampu penerang jalan di kampung-kampung lereng gunung yang kami lewati. Bintang dan rembulan bersanding di pekatnya angkasa menambah syahdu malam yang kami lalui.

Tampak Riani sesekali menoleh ke arahku. Aku hanya terdiam, batin yang bergemuruh telah mewakili perasaanku. Malam makin merangkak naik, hawa dingin pun menusuk kulit. Kulihat Riani menyandarkan kepalanya di bahu Mas Galih walaupun sedang melakukan aktifitas menyetir. Cemburu, jelas itu yang ada di dadaku kini.

Melihat dan mendengar kemesraan mereka membuatku tak tahan. Untuk menyiasati kegundahan hati, aku berpura-pura memejamkan mata dan merebahkan tubuh di jok yang memanjang.

"Kinanti! Kinanti!" seru Riani seraya menggoyangkan ujung jari kakiku.

"Hemmm. Udah sampai mana, Ri?"

"Kamu tidur, ya?"

Aku tak menyahut, lantas bangkit dari rebahan dan kembali duduk.

Aku kembali mengamati jalanan, meskipun gelap rasanya pernah melalui jalan ini. Ya, jalan ini pernah kulalui bersama Asti dan Ayah saat berkunjung ke rumah Tante Harwi, selingkuhan Ayah.

***

Hubungan Riani dan Mas Galih selalu mengalami pasang surut. Perasaan Riani-lah yang sering berubah-ubah. Ketika hal itu terjadi, mau tidak mau, aku harus ikut andil membujuk Riani.

Karang Taruna di dusunku mengadakan rekreasi. Aku dan Mas Galih menjadi anggota yang sama dalam organisasi tersebut. Riani yang berbeda dusun denganku diajak serta ikut rekreasi oleh Mas Galih.

Tiba di pantai, Aku dan Riani sangat gembira. Bermain pasir dan menikmati ombak yang dahsyat berdua dengan Riani, sedangkan Mas Galih asyik merokok di warung tepi pantai. Ketika asyik bermain pasir tiba-tiba ombak menghantam tubuh kami berdua. Kami terseret ke agak jauh dari bibir pantai.

"Astaghfirullah, astaghfirullah! Riani pegang tanganku! teriakku sekuat tenaga dalam gulungan ombak.

Aku tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar kami berdua masih diberi keselamatan. Saat dalam gulungan ombak kepalaku sepertinya menabrak batu karang dan genggaman tangan terlepas dari Riani. Setelah itu aku tidak tahu lagi.

***

Aku siuman setelah aroma minyak kayu putih menyengat hidung.

"Alhamdulillah ...!" seru seorang laki-laki yang tak kukenal.

"Saya ada di mana? Dan Riani mana?" tanyaku kepada laki-laki itu.

"Mbak ada di posko tim SAR, sedangkan teman Mbak udah siuman lebih dulu. Sebentar saya panggilkan."

Tak berselang lama Riani dan Mas Galih muncul dari balik pintu.

"Alhamdulillah kalo kamu udah sadar juga. Tapi dahimu luka, Kinanti."

Kupegang perban yang menempel di dahi. Kepalaku terasa pening. Kupandangi Riani yang ternyata tidak ada luka apapun.

Aku berpamitan kepada petugas yang menolongku, kemudian menuju bis rombongan yang memang dari tadi menungguku.

Aku memutuskan untuk tidak turun saat bis berhenti di pusat oleh-oleh. Ingin rasanya segera sampai rumah. Ganasnya ombak yang menggulung tubuhku tadi masih terbayang di pelupuk mata.

***

"Selamat datang Cah Ayu!" sapanya ketika langkahku memasuki rumah yang super megah itu.

Para perempuan secantik bidadari itu duduk sejajar ikut menyambutku. Kupandangi sekeliling rumah, bunga-bunga tampak mekar menguarkan aroma wangi. Kereta kencana telah bersiap membawaku dan seorang perempuan yang sangat cantik jelita.

"Ayo naik! serunya memerintahku.

Aku menggelengkan kepala seraya berujar, " Kita mau kemana?"

"Ikutlah denganku!"

Aku tetap menggeleng, namun para perempuan yang duduk itu lantas bangkit mencengkeram dan memaksaku untuk naik.

"Aku gak mau ikut! Gak mau!" teriakku meronta.

"Biarkan! Lepaskan dia untuk kali ini. Lain waktu Nyi Roro Kidul akan menjemputmu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tabir Misteri Hidup KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang