Sepeninggal Kakek, rumah yang kami tinggali digugat penjual tanahnya. Ada sengketa waktu jual beli, dan semua telah dibereskan Ayah. Sesuai wasiat Kakek, sertifikat rumah atas nama Ayah, karena berkat usahanya semua sengketa terselesaikan.
Perekonomian keluarga mulai bangkit, namun tidak sejalan dengan kondisi rumah tangga kedua orangtuaku. Hampir tiap hari Ayah dikabarkan selalu pergi dengan selingkuhannya. Berbagai alasan dibuat agar Ibu tidak curiga. Lambat laun Ibu merasa jengkel juga dengan sikap Ayah, percekcokan sering kudengar membuat hati ini miris.
Dengan dalih menengok proyek, Ayah mengajakku dan juga Asti untuk menghabiskan libur hari minggu di sana. Alih-alih mengajak kami, nyatanya Ayah ketemuan dengan wanita selingkuhannya.
"Ndug, cantik-cantik, hayo kenalan sama Tante!" sapanya dengan ramah kepada kami.
"Kinanti, Asti, salaman dong sama Tante Harwi!" sela Ayah menyuruh kami berjabat tangan dengan Tante Harwi.
"Kinanti, Tante, dan ini Asti."
Hambar. Kujabat tangannya dengan menyebutkan nama kami.
Perkenalan di kios pasar berlanjut di rumah Tante Harwi, karena Ayah mengajak mampir ke sana. Rumah Tante Harwi sangat luas, halaman depan dihiasi pohon rambutan yang berbuah lebat. Kami pun diijinkan untuk memetik sesuka hati. Alhasil kami pulang dengan sekantung kresek besar buah rambutan.
Ada perasaan bersalah terhadap Ibu karena ajakan Ayah. Segera masuk ke kamar dan membenamkan diri di sana, karena tak mampu menjawab ketika Ibu nanti bertanya. Hingga pagi menjelang nyatanya Ibu tidak peduli ataukah mungkin enggan bertanya, gumam batinku.
****
Ayah menangani beberapa proyek secara bersamaan. Rumah bambu peninggalan Kakek pun direnovasi menjadi rumah berdinding tembok. Instalasi listrik terpasang, bahkan sumur pun dibangun Ayah agar kami tidak lagi repot-repot menumpang di rumah tetangga.
Nenek dan Paklik Wanto menjadi tanggungan Ayah sekarang. Adik bungsu Ayah itu hanya mampu mengenyam pendidikan terakhir SD. Aku, Asti dan Paklik Wanto sering bercanda di rumah.
Usai belajar kusempatkan nonton TV. Kurebahkan tubuh di tikar yang terhampar di lantai sambil menikmati tontonan di TV. Ada juga Nenek dan Paklik Wanto ikut menonton. Sesekali kami terbahak bersama karena acara lawak yang kami tonton sungguh lucu.
Aku terjaga. Rupanya aku tertidur di depan TV. Kukucek mata pelan dan membukanya, tampak Nenek juga sudah tertidur di sampingku dan Paklik Wanto masih menikmati siaran TV. Mata yang mengantuk membuatku ingin melanjutkan tidur tanpa harus pindah ke kamar.
Setengah sadar, aku terbangun lagi. bagian payudaraku digerayangi tangan sambil memeluk tubuhku dari belakang.
"Enak, kan?" bisiknya di telingaku.
Aku tidak menjawab, hanya rasa risih yang menjalar di tubuhku. Aku menggeliat dan berusaha menyingkirkan tangan yang semakin menggerayangi sekujur tubuhku. 'Paklik sungguh kurang ajar, teganya padaku yang notabenenya keponakan sendiri' gumamku disertai airmata yang meleleh di kedua pipi.
"Awas, ya, kalo sampai cerita ke siapa-siapa!" lirihnya mengancamku.
Aku menangis terisak, Paklik pun menyudahi aksinya berbuat bejat kepadaku. Segera berlari menuju kamar dan membenamkan diri dengan uraian airmata. Pagi menjelang, Aku mengadu pada Ayah dan Ibu atas perbuatan Paklik semalam.
"Ah, masak iya Paklik-mu seperti itu," sahut Ayah ragu.
"Iya, Yah, bahkan Paklik mengancamku agar tidak cerita siapa-siapa."
"Ya udah gak usah digagas!"
Mendengar jawaban Ayah, membuatku semakin sakit hati dan kecewa. Orangtua yang kuharap peduli dengan apa yang menimpaku ternyata hanya cuek, seolah kejadian itu hanyalah sepele.
Aku semakin menutup diri dan menyatakan perang dingin dengan Paklik. Perbuatan bejatnya selalu membayangiku, hingga menimbulkan ketakutan dalam batin.
****
Setelah mendapat nilai ujian kelulusan terbaik di antara teman sekelas, Aku diterima di bangku SMP favorit. Percekcokan orangtua dan perlakuan bejat Paklik tidak membuatku patah semangat untuk berprestasi di sekolah.
Aku mempunyai banyak teman di sekolah, tapi aku merasa asing di tengah-tengah mereka, padahal mereka tidak ada yang berbuat buruk terhadapku. Aku makin menutup diri dan merasa kesepian walaupun banyak orang di sekelilingku.
Naik ke kelas dua, aku sebangku lagi dengan Riani, teman akrab satu-satunya yang kupunya di antara teman yang lain. Dia selalu curhat semua masalah kepadaku. Bahkan masalah orangtuanya pun ia ceritakan padaku. Beda sekali dengan sikapku. Aku mampu mendengar curhatan orang lain, tapi kenapa diriku sendiri tak mampu juga menceritakan beban diri kepada orang lain.
Riani menjadi semakin akrab denganku, malah kami berdua telah dianggap saudara pada keluarga masing-masing. Selain sama-sama satu sekolah, Riani juga kuajak serta belajar mengaji tilawah di TPA dekat rumah. Riani pun bersedia dan sangat senang dengan kegiatan barunya.
Ustadzah Maulida usai memberikan pelatihan tilawah kepada kami peserta didiknya. Dengan serius kudengar nasehat beliau.
Blek
Suara sesuatu yang jatuh di kepala saat mendengarkan penjelasan Ustadzah Maulida sebelum pulang. 'Astaga, kepalaku kejatuhan cicak.' Aku menggerutu dalam batin sesaat melihat cucak yang merayap di bangku setelah meloncat dari kepala. Perasaanku makin tidak tenang, ada keresahan tanpa sebab yang menjalar di dada setelah insiden cicak tersebut.
Pulang dari mengaji, rumah keadaan sepi.
"Mbah, Ayah dan Ibu, kemana? kok sepi?" tanyaku pada Nenek yang sedang sibuk menganyam tikar.
Asti menghampiriku, kemudian berujar, "Ayah sama Ibu ke rumah Tante Harwi, Mbak Kinan."
"Iya, tadi pinjam vespa-nya Pak Bambang berboncengan ke sana," sahut Nenek kemudian.
Beranjak petang, Ayah dan Ibu tak kunjung pulang, padahal gerimis telah mengguyur bumi. Aku dan Asti menanti kepulangan Ayah dan Ibu di teras rumah.
"Assalaamu'alaikum, Ndug Kinanti, Asti, Simbah ada?" sapa Budhe Yani yang datang dengan nafas tersengal-sengal usai mengayuh sepeda ontel yang dikendarainya.
"Ada di dalam, Budhe," jawabku.
Budhe Yani segera melangkah masuk ke rumah menghampiri Nenek.
"Mbok, Pram sama Asih sekarang ada di rumah sakit, kecelakaan."
Suara Budhe Yani jelas terdengar di telinga kami berdua. Terkejut dan spontan melangkah masuk je dalam rumah beriringan dengan Asti.
Panjang lebar Budhe Yani menjelaskan pada Nenek dan kami berdua hanya mendengarkan. Hatiku berdebar dan berguncang hebat setelah Budhe Yani bercerita tentang kabar Ayah dan Ibu mengalami kecelakaan lalu lintas.
Nenek berpamitan kepada kami untuk menjenguk Ayah dan Ibu di rumah sakit. Aku dan ketiga adikku menangis, meratapi nasib kedua orangtua.
Dalam derai airmata, aku mengingat kejadian kejatuhan cicak waktu ngaji di TPA. Usai insiden itu, perasaanku resah tanpa sebab. Mungkinkah itu firasat akan kejadian ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir Misteri Hidup Kinanti
Mystery / ThrillerKinanti. Masa kecil hingga dewasa penuh penderitaan, menjadikan dirinya pribadi yang tertutup. Lebih senang menyendiri hingga mengalami kejadian-kejadian spiritual yang penuh misteri.