Setelah beberapa kali ganti moda kendaraan umum yang kami tumpangi, akhirnya berempat dengan Budhe Mirna sampai di Rumah Sakit. Kami bertiga mengikuti langkah Budhe menyusuri koridor Rumah Sakit.
Tampak Budhe Mirna membuka pintu ruangan bertulis VIP, kami pun segera ikut masuk. Ibu terbaring di ranjang bersebelahan dengan ranjang Ayah. Ruangan itu hanya berkapasitas dua pasien rawat inap. Tampak lengan Ibu terbalut perban sepanjang kurang lebih duabelas centimeter, di sudut kelopak matanya tampak berwarna kebiruan akibat luka memar. Ayah masih dalam keadaan koma dengan beberapa alat kedokteran terpasang di tubuhnya. Ingin rasanya menjerit melihat kondisi kedua orangtuaku.
Budhe Mirna mendekati ranjang Ibu, kemudian berusaha membangunkannya. Tampak Ibu membuka mata dan berusaha bangun.
"Kinanti, Asti, lha Dayu mana?" tanya Budhe Mirna kepada kami. Aku segera mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, Dayu tak ada di tempat.
"Bentar Budhe, biar Kinanti yang cari Dayu, paling juga gak jauh dari sini!" sahutku seraya bergegas keluar ruangan.
Kususuri koridor Rumah Sakit seraya mengedarkan pandangan ke segala arah. Dayu kutemukan sedang berada di taman tak jauh dari ruangan rawat inap untuk Ayah dan Ibu.
"Dayu! Kakak cari-cari kok malah di sini? Ayo, Ibu pengen ketemu sama Dayu!" seruku.
"Dayu masih pengen liat air mancur sama ikan di kolam, Mbak Kinanti!" Dayu enggan beranjak dari tempatnya, tapi kupaksa untuk kembali bersamaku.
Kugandeng lengan Dayu menyusuri koridor lagi menuju ruangan Ibu. Dayu kudorong agar menghampiri Ibu yang duduk di tepi ranjang. Ziya yang masih berusia empat tahun sengaja ditinggal di rumah bersama Nenek.
***
Ibu hanya dirawat selama lima hari sedangkan Ayah hampir satu bulan. Usai sadar dari komanya Ayah menjalani serangkaian operasi pada tulang bahu, tangan dan juga kaki karena patah tulang.
Kecelakaan kedua orangtuaku membuat perekonomian keluarga kembali terpuruk, karena Ayah satu-satunya tulang punggung keluarga tidak bisa bekerja. Biaya SPP di sekolah beberapa bulan menumpuk tidak terbayar. Untuk membayar biaya sekolah, Ayah dan Ibu terpaksa berhutang pada Bulik Sari.
Aku mengayuh sepeda ontel menuju rumah Bulik Sari sesuai pesan Ayah untuk mengambil pinjaman uang yang dijanjikan. Rumah Bulik Sari sepi, hanya ada Paklik Parmin sedang mengutak-atik radio kesayangannya.
"Bulik Sari belum pulang tho, Paklik?" tanyaku.
"Belum. Sebentar lagi juga pulang. Sini duduk dulu dekat Paklik!" bujuknya.
Kuhampiri Paklik dan duduk bersebelahan. Sambil menunggu Bulik Sari pulang kerja, Paklik Parmin menanyaiku tentang kondisi Ayah. Hampir setengah jam menunggu, namun Bulik Sari tak kunjung pulang.
Tampak Paklik Parmin bangkit dari duduknya, berdiri di bibir pintu sambil menoleh tak beraturan seperti sedang mengamati sesuatu. Tiba-tiba Paklik Parmin menutup separo pintu dan menghampiriku. Paklik Parmin mencium pipi dan tangannya meremas sebelah payudaraku. Aku yang terkejut lantas mendorong tubuh Paklik kemudian segera berlari meraih sepeda dan mengayuhnya sekencang mungkin.
Aku berusaha menahan tangis ketika tiba di rumah. Tampak Ayah sedang duduk di teras.
"Dapat uang pinjamannya dari Bulik Sari, Kinanti?" tanya Ayah.
"Bulik Sari gak pulang-pulang Yah, Kinanti udah nungguin lama."
Aku terpaksa menjawab sekenanya. Mendengar jawabanku, Ayah tak lagi bertanya.
Di dalam kamar tangisku pecah mengingat perilaku Paklik Parmin, membuat luka lama kembali hadir di pikiran. 'Sungguh bejat. Aku benci kalian semua!' gerutuku geram.
Aku meratapi nasibku yang selalu menjadi bahan pelecehan orang-orang terdekat. Aku mencari sebab dari dalam diriku sendiri, apa yang menyebabkan mereka tega berbuat bejat terhadapku. Tak kutemukan jawabannya. Selain perang dingin dengan Paklik Wanto, akhirnya pun kunyatakan perang juga dengan Paklik Parmin.
Bulik Sari akhirnya datang mengantar uang yang dipinjamkannya ke rumah. Mengetahui dia datang bersama Paklik Parmin, diriku lebih memilih mengurung diri di kamar.
***
Perlakuan bejat orang-orang terdekat dalam hidupku membuat aku semakin tertutup dan kurang percaya diri dalam bergaul. Aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar atau di pemakaman sambil membaca majalah atau kitab primbon milik Ayah walaupun tak mengerti isi tulisannya.
Keuangan Ayah makin menipis dan hutang yang semakin bertambah kepada Bulik Sari. Segala keperluan rawat jalan Ayah, Budhe Mirna yang mengurusnya.
Aku iseng mengumpulkan nota pembayaran segala keperluan rawat jalan Ayah. Nota pembelian obat di apotik tulisannya agak janggal menurut pemikiranku. sengaja menghampiri Ayah dengan segenggam bukti nota pembelian obat di tangan.
"Yah, coba Ayah cek ini deh, kok tulisan ini kayak angkanya ditambahi deh, Yah!" ujarku.
"Maksudmu apanya, Kinanti?" Ayah balik bertanya kepadaku.
Aku menunjukkan keganjalan tulisan angka yang tertera pada nota pembayaran itu. Ayah memeriksa lembar demi lembar kemudian Ayah pun membenarkan kejanggalan yang kurasakan. Selama ini ternyata Budhe Mirna membodohi Ayah soal pembelian obat di apotik. Meskipun Ayah geram juga dengan kelakuan Budhe Mirna, namun tidak bisa berbuat apapun. Ayah berdalih selama ini Budhe Mirna yang sibuk mondar-mandir mengurusnya selama sakit, jadi tidak mempermasalahkan ketidakjujurannya.
Sejak Ayah belum bisa bekerja lagi, perekonomian keluarga makin kacau. Kebutuhan dapur nyaris tidak bisa terpenuhi.
***
Ujian kenaikan kelas sebentar lagi. Usai pulang sekolah perutku terasa sangat sakit, mungkin karena olah raga di sekolah tanpa sarapan. Aku menuju kamar mandi untuk buang air kecil, saat membuka celana dalam tampak ada bercak berwarna kecoklatan. Ada rasa takut yang bergelayut dalam dada, segera kucari Ibu untuk menanyakan hal ini.
"Itu namanya Kinanti sudah beranjak dewasa, jadi menstruasi." Itu yang Ibu katakan padaku mengenai bercak berwarna kecoklatan yang berada di celana dalamku.
***
Aku mengayuh sepeda ontel menuju kawasan kota yang tidak jauh dari tempat tinggalku menuju toko buku. Menyusuri rak demi rak mencari buku kisi-kisi ujian kenaikan kelas.
Bersenandung ria sambil mengayuh sepeda menuju rumah dengan membawa sebuah buku yang berisi kisi-kisi materi ujian. Melewati jalan raya dekat stadion olah raga yang lumayan sepi. Aku terkejut dan hampir terjatuh saat pengendara motor yang melintas di sebelahku menarik dan meremas bagian kanan payudaraku. Aku sempat melihat dan menghapal nomor kendaraannya sambil terduduk lemas di tepi jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir Misteri Hidup Kinanti
Mystery / ThrillerKinanti. Masa kecil hingga dewasa penuh penderitaan, menjadikan dirinya pribadi yang tertutup. Lebih senang menyendiri hingga mengalami kejadian-kejadian spiritual yang penuh misteri.