Bagian3

160 11 2
                                    

Hampir satu setengah bulan, perempuan bernama Sarini itu ikut tinggal di hunian baru keluarga kami. Tanpa sebab yang jelas dalam hatiku tumbuh rasa benci terhadapnya, sejak kehadirannya pertama kali. Kebencianku bertambah, sejak tanpa sengaja mendengar ranjang Budhe Mirna yang kamarnya ditinggal penghuninya kerja malam berderit. Setahuku, hanya Tante Sarini yang berada dalam kamar tersebut, karena sakit dia tidak berangkat kerja bersama Budhe.

Flashback tiga hari lalu.

Angin dingin yang menembus pori-pori kulitku menimbulkan hasrat untuk buang air kecil ke kamar mandi. Sejak kejadian ketemu hantu kuntilanak itu, menciutkan nyaliku untuk jalan sendiri ke kamar mandi. Namun kuberanikan diri juga, lantaran tidak mau membangunkan Ibu ataupun Ayah di malam buta.

Berjalan pelan ke luar kamar menuju kamar mandi, sampai di depan kamar Budhe Mirna, kudengar bunyi ranjang tanpa kasur itu berderit dan desahan suara Tante Sarini lirih terdengar tanpa sengaja di telingaku. 'Ah, mungkin dia lagi ngrasain sakitnya. Bodo amatlah!', gerutu batinku tak mempedulikannya. Langsung melanjutkan langkah masuk kamar mandi.

Usai buang air kecil, melangkah ke luar dan kembali ke kamar mandi. Bengong dan berdiri di depan pintu kamar mandi, saat melihat sosok Ayah keluar dari kamar Budhe Mirna, yang di dalamnya ada Tante Sarini. Tampak Ayah melangkah cepat memasuki kamar Ibu. 'Apa yang dilakukan Ayah di kamar Budhe Mirna?' tanyaku dalam hati.

Keberadaanku tidak diketahui Ayah, padahal aku memergokinya keluar dari kamar tersebut. Kucepatkan langkah kembali lagi ke kamar untuk melanjutkan tidur.

Entah naluri apa yang membuat batinku begitu membenci Tante Sarini. Kehadirannya membuatku geram, apalagi ketika melihat Ibu menangis sendirian. Mungkinkah salah satu penyebabnya hadirnya Tante Sarini, karena akhir-akhir ini sering kudengar Ayah dan Ibu cek-cok dengan menyebut namanya. Aku tak mengerti.

Keadaan Dayu yang sering sakit-sakitan di hunian baru, membuat Ayah dan Ibu memutuskan untuk kembali tinggal bersama di rumah Nenek. Alasan itu bukan satu-satunya, ada alasan lain menurutku, yaitu ketidaknyamanan akan hadirnya Tante Sarini dalam kehidupan rumah tangga Ayah dan Ibu.

Beberapa tas jinjing berisi pakaian telah tergeletak di teras rumah. Kusandang tas ransel berisi buku pelajaran sekolah, sebelum Ayah membawa kami lagi ke rumah Nenek. Tampak Asti berdiri di sampingku dan Ibu menggendong Dayu.

"Yu, jaga dan rawat rumah ini, ya, Yu! Sewaktu-waktu Bos-ku kalo berkunjung ke sini biar senang. Nanti juga kubilang sama Mbak Ida, biar disampaikan sama Bapak, kalo Yu yang nempatin sekarang," ujar Ayah berpamitan seraya berpesan kepada Budhe Mirna.

"Iya, Dek Pram, Dek Asih, Aku janji merawat rumah ini. Aku malah terima kasih udah diberi pinjaman tempat tinggal lantaran kamu, Dek. Kapan-kapan ya harus tetep main-main ke sini, ya, Kinanti, Asti," jawab Budhe Mirna dan berpesan kepadaku dan juga Asti.

Ayah menenteng dua tas jinjing, sebelum berlalu kulirik Tante Sarini yang juga menyaksikan kepindahan kami kembali ke rumah Nenek. Senyum kemenangan tersirat dari binar kedua bola matanya.

****

Hening

Sunyi

Sepi

Suasana rumah Nenek, begitu kami memasuki pelataran halaman rumah dari anyaman bambu tersebut.

Ayah meletakkan tas-tas itu di kursi panjang yang terbuat dari bambu, kemudian melangkah menuju pintu.

"Mbok, Mbok!" seru Ayah memanggil Nenek. Tak ada sahutan, suara Kakek pun tak terdengar, memang keseharian Kakek dihabiskan di bengkel sepeda ontel di pinggir jalan kampung sembari membuat peralatan dapur dari anyaman bambu, menunggu pelanggan untuk reparasi ontel miliknya.

Tabir Misteri Hidup KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang