Mendengar jawaban Ibu, aku langsung terdiam. Malam semakin dingin, terdengar langkah kaki dari kejauhan dan kian mendekat. Oh, rupanya Nenek, gumamku.
"Gelap-gelapan, ya biarin, Ndug, Mbah nekat pulang yang penting Paklek-mu udah pulang dari dagang, tinggal Bulek Sari yang belum datang," celetuk Nenek padaku.
"Lha, anak-anaknya, apa udah pada tidur, tho, Mbok?" tanya Ibu pada Nenek yang sedang mengeluarkan bungkusan kertas minyak dari dalam plastik.
"Dah tidur semua, sebentar setelah mati lampu. Ndug, Mbah bawakan tahu kupat sisa jualan Paklek-mu, lho. Cepetan dimakan!" jawab Nenek pada Ibu, kemudian menyodorkan bungkusan tahu kupat tepat di depanku.
"Tapi, Mbah. Aku ...."
"Aku, apa? dah kenyang tho?"
"Gak berani ambil sendok."
"Oalah, Mbah kira udah kenyang. Ya, udah Mbah ambilin dulu."
Nenek bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju dalam rumah.
Pyarrrr
Lampu menyala, ketika langkah Nenek masih berada di depan pintu. Kuabaikan tahu kupat dan kuletakkan di atas meja kayu. Tampak Ibu tengah membopong satu persatu adikku, untuk dipindahkan ke dalam kamar.
Kulipat kembali tikar dan menghamparkannya di lantai tanah dalam rumah. Segera kuambil sendok dan menyantap tahu kupat.
"Mbah sama Ibu, mau gak kupat tahunya? Kalo gak mau, Kinanti habisin, lho."
Kutawari Nenek dan juga Ibu yang tengah duduk berdua di kursi rotan yang ikatannya telah berhamburan tidak teratur.
"Wis, habiskan! Ibu sama Mbah udah kenyang," jawab Ibu.
Usai melahap habis tahu kupat, mataku mulai mengantuk. Kurebahkan tubuh di hamparan tikar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir Misteri Hidup Kinanti
Misteri / ThrillerKinanti. Masa kecil hingga dewasa penuh penderitaan, menjadikan dirinya pribadi yang tertutup. Lebih senang menyendiri hingga mengalami kejadian-kejadian spiritual yang penuh misteri.