ZV || Perdebatan

98 9 11
                                    

Perdebatan sengit antara aku dengan Fahma tidak berlangsung singkat. Bahkan waktu dua jam tidak mampu menghentikannya. Pendapat mana yang harus diikuti?

Aku mencoba mempertahankan keteguhanku, Fahma pun melakukan hal yang sama.
"Apa yang kamu dapat setelah melakukan ini Fahma? Ini semua tidak ada artinya dibandingkan pahala yang kamu dapat. Kamu dirasuki setan!"

"Jangan sembarangan. Kalau kamu tidak bisa bantu setidaknya jangan halangi aku!"

"Ishtigfar Fahma! Allah gak butuh akhwat yang mencari-cari keberadaan ikhwan!"

"Sudah aku bilang jangan bawa-bawa nama Allah dalam situasi ini Zahra. Allah gak ada kewajiban untuk ikut campur."

"Allah akan selalu punya hak dan kewajiban atas kita! Kamu gak perlu ngomong ngelantur hanya untuk melakukan perbuatan bodoh!"

"Dan kamu sama sekali gak ada hak untuk ngatur-ngatur aku Zahra." Fahma berucap sinis padaku.

"Tapi aku punya kewajiban untuk mengingatkan sesama muslim. Apalagi kita punya ikatan silahturahmi yang kuat. Kita bersahabat!" Aku berencana menyentuh pundak Fahma, tetapi Fahma menghempaskannya.

"Maaf saja, jangan jadikan kata Bersahabat sebagai jalanmu untuk menghalangi keinginanku."

"Fahma, ada apa denganmu?"

"Rasa penasaranku lebih besar dibandingkan kuatnya persahabatan kita. Jika kamu benci ini, kamu bisa putuskan tali silahturahmi ini sesukamu. Aku tidak paham apa arti sahabat itu."
Fahma kembali meninggalkanku.

Aku buntu. Tidak ada satupun gagasan yang terlintas dipikiranku selain berdoa pada Allah. Tidak banyak yang dapat kulakukan. Beberapa menit setelah pertengkaran usai, aku pun pergi meninggalkan tempatku berdiri menuju kamar.

Disisi lain..

Perasaan Fahma campur aduk. Sebenarnya dilubuk hati yang paling, dalam ia menyesali kata-katanya. Kata-kata itu terlontar dengan mudahnya. Amarah memang sangat menguasainya tadi. Keingintahuannya memang sangat besar saat itu, ia benar-benar tidak terima jika aku menghalangi keinginannya.

Tapi bagaimanapun Fahma tidak bisa berfikir jernih saat ini. Sehingga ia masih seperti kehilangan kendali. Niatnya untuk masuk kedalam gudang timbul kembali. Tanpa pikir panjang, ia memutar balikkan langkahnya menuju toilet.

Sekarang yang harus ia lakukan hanya bagaimana cara naik keatap toilet tanpa ketahuan santri lain ataupun Ummi. Dan ia putuskan untuk tidak mengikutsertakan aku dalam kegiatan ini.

Fahma masuk kedalam toilet. Ia berfikir keras disana. Lumayan lama juga ia didalam. Sampai santri lain yang ingin buang air harus menunggu lama karena perbuatannya. Bayangkan betapa menderitanya para santri yang mengantri saat ini.

"Aku tau caranya," Fahma tersenyum penuh arti didalam toilet. Ia keluar toilet tanpa mempedulikan tatapan sinis para santri.

Fahma menuju kamar. Aku melihatnya masuk dalam keadaan terburu-buru. Ia berlari hingga ngos-ngosan menemui Hilda. Aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tetapi Hilda mengangguk seperti mengiyakan ajakan Fahma.

Aku curiga, jangan-jangan Fahma akan bekerja sama dengan Hilda?! Ini tidak bisa dibiarkan. Fahma rela berbagi dosa dengan Hilda, temannya sendiri. Hilda sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini.

Eh tapi tunggu. Aku ingat sesuatu. Bukankah Hilda yang memberitahu Fahma bahwa ada gudang dibalik tembok toilet?? Aku harus mengikuti mereka. Apa yang akan Fahma rencanakan kali ini.

Sesampainya mereka didekat kantor Ummi, mereka seperti membagi tugas. Seketika Hilda menuju kantor Ummi dan Fahma menuju toilet. Kebetulan saat itu toilet sepi.

Aku yakin, pasti Hilda disuruh Fahma untuk melakukan apa yang seharusnya Fahma suruh untukku. Bagaimana caraku untuk menghentikan Fahma?! Ia sangat keras kepala untuk memenuhi nafsunya.

Tanpa sadar Fahma melihatku.

"Zahra, aku tau pasti kamu sepenasaran aku. Ayo naik. Tugas mengulur waktu sudah kuserah pada Hilda. Baik juga dia dapat membantuku, tidak sepertimu."

Aku terkejut dengan kalimat Fahma.

"Lekas naik, sebelum Hilda kehilangan ide pembahasan."

"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan kotor. Kamu saja yang lakukan. Lagipula aku ada urusan dengan ummi."

Gagasan itu seketika muncul. Bisa saja aku beri tahu ummi tentang yang sebenarnya terjadi sebelum Fahma bertindak terlalu jauh.

"Ngapain? Kau ingin mengadukan ini pada ummi?"

Fahma seperti membaca pikiranku. Sekarang apa yang harus kulakukan. Aku terdiam menunggu Fahma berbicara kembali.

"Jangan bodoh. Aku pastinya tidak akan lagi bermain denganmu. Tidak ada lagi kata teman atau sahabat diantara kita."

Kalimat Fahma kembali membuatku terkejut. Disisi lain aku marah padanya.

"Sungguh, aku tidak rugi jika tidak berteman dengan temannya setan!"

Sekarang giliran Fahma yang terdiam. Aku segera bergegas menuju kantor ummi. Dan sekarang tanpa basa basi.

...||...
Bersambung

Pesan-TrendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang