MPDS 5

66 9 0
                                    

Aku jadi teringat tentang puisiku. Tentang rindu pada Indonesiaku.
Puisi yang kutulis di Tarim dulu. Pada 6 Juni 2015 lalu:

Rindu Indonesia
Senja nan bisu telah menyapa
Badai rindu kini menerpa
Aku terjatuh ke dalam Nestapa
Terdiam sepi dalam irama
Berjauh jarak aku tertimpa
Tangisan awan hinggap di muka
Oh Aku Rindu Indonesia

***

Keesokan harinya setelah menyimak Mantra Purnama yang ke-48 di singgasana angkuh Kerajaan Langit Mukalla, aku kembali pada aktifitas harinku, kuliah. Saat itu jam pergantian pelajaran. Seorang Doktor Pakar Gramatika Bahasa Arab (Nahwu) yang merupakan Alumni Iraq berpapasan denganku di lorong kampus, lantas menyapaku.

Dr. Husein Al-Aidrus, itulah nama beliau. Setiap kali bertemu dengannya, selalu saja salamku didahului oleh sapaannya yang lembut:

"Ya Imam, kaif Akhbarak? Feinak Masyuftak?"
(Hai Imam, bagaimana kabarmu? Kemana saja, aku tak lihat kamu?).

Yah, itu sapaan Doktor yang sudah tak lagi bertemu denganku di kelas lantaran materi Gramatika Arab yang beliau ajarkan sudah rampung sejak 9 bulan lalu. Sebenarnya aku ingin menjawab:

"Ma Zilt Ana Fish Shaf Ya Duktur, Illa Annana Lam Natawajah Ba'ed."
(Aku masih di kelas Dok, hanya saja kita tak pernah bertatap muka lagi).

Sapaan beliau hanya sempat kujawab denga kata-kata:

"Alhamdulillah Bikheir Duktur."
(Al-Hamdulillah baik-baik saja Dok).

"Kaannaka Zidta Nahifan, Leih?"
(Nampaknya kamu tambah kurusan, kenapa?)

"Asy-Syauq Ya Duktur."
(Karena rindu, dok)

"Aha.. Insya Allah Sata'ud Qoriban Ila Andanusia."
(Oh begitu... Insya Allah kamu bakal balik bentar lagi ke Indonesia)

"Insya Allah Duktur."

Percakapan singkat di lorong yang menjebak pertemuan kami. Beliau selalu saja tersenyum dan selangkah lebih awal saat menyapaku. Lantas bertanya tentang beberapa kawan lain yang juga sudah 9 bulan tak bertemu beliau di kelas.

Dan, ternyata Doktor Husein juga mengerti tentang rindu yang kupendam. Rindu pada Indonesia yang sudah tak mampu kuredam. Rindu kepada orang-orang terkasih yang membuat hati terus terancam. Terancam
kesedihan, resah dan gelisah yang begitu mendalam.

Yah, dulu aku sempat bertanya kepada beliau tentang beberapa syair cinta Arab. Kisah seorang pemuda yang mati lantaran memendam cinta.

Kisahnya tertulis dalam bentuk syair di sebuah batu di pedalaman kampung badui dan ditulis oleh Imam Al-Ashma'i, seorang Imam Besar dalam Bahasa Arab dan sempat belajar kepada Imam Syafi'i yang telah menghafal 10.000 bait Syair Bani Hudzail yang merupakan Suku Arab yang paling fasih bahasanya. Kisah itu ada dalam buku "Hakikat Cinta" yang kutulis beberapa waktu lalu, [silahkan dibaca ulang].

Siang hari setelah pulang kuliah, aku langsung bergegas masuk kamar mengambil cermin. Kutatap beberapa guratan yang menghiasi cekungan di pipiku. Ternyata benar kata Doktor, aku nampak lebih kurus saat ini.

Begitulah efek berkepanjangan menahan rindu. Berlama-lama memendam rindu itu tak enak. Tidur tak nyenyak dan dada yang terus terasa sesak. Serta bayang-bayang yang terus mendesak. Memenuhi segenap penjuru hati dengan telak. Terlebih ruang rindu yang kian berjarak.

***

MANTRA PURNAMA & DRAMA SENJA Kota MukallaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang