Bab 8. Theresa Velaquez

285 42 7
                                    

Rasa nyeri menggerogoti kepala Theresa. Wanita itu meringis sebelum membuka mata pelan dan didapatinya sebuah ruangan yang benar-benar asing. Tempat tidur mewah dengan selimut merah yang ia yakin terbuat dari sutera. Di mana setiap sudut ranjang berdiri pilar tinggi keemasan dengan tirai berwarna senada. Mata birunya kemudian mengamati kamar yang luasnya setara dengan rumahnya. Dinding-dinding tersebut tergantung beberapa lukisan, di sudut ruangan ada guci berukiran rumit, kursi serta karpet tebal merah.

Mungkin kah ia telah mati dan Tuhan bermurah hati mengampuni semua dosa-dosanya hingga kini ia berada di surga?

Akan tetapi ketika denyut nyeri dari kepala kembali terasa, Theresa menyadari jika dirinya masih hidup. Tidak ada orang mati yang merasa kesakitan bukan? Entahlah, Theresa belum pernah mengalaminya. Benaknya lalu mulai memutar kejadian terakhir yang ia ingat.

Segera saja wanita bermata biru turun dari ranjang, lalu menghampiri sebuah cermin besar. Tangannya meraba kepala, tapi tidak ditemui darah mau pun luka. Padahal ia ingat sekali aroma anyir dari cairan kental merah itu berasal dari luka akibat benturan. Juga sosok mengerikan dengan gigi bertaring runcing yang membuatnya hampir kelihangan nyawa.

Kereket pintu dibuka, seorang wanita paruh baya dengan pakaian hitam putih khas pelayan memasuki kamar.

"Nona sudah bangun rupanya?" Pertanyaan itu membuat alis Theresa berkerut.

Nona? Seumur hidup gadis itu tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan demikian sopan mengingat derajatnya hanya rakyat jelata.

"Mari ikut saya!"

"Tapi...." Belum juga Theresa menyetujui, wanita tua tadi sudah lebih dulu melangkah. Mau tidak mau ia harus menyusul.

Selama mengikuti wanita tersebut Theresa hanya diam seraya
memperhatikan koridor yang ia lewati. Sepanjang ia berjalan sepanjang itu juga dirinya terkagum dengan barang-barang mewah yang ada di sana dan berpikir jika mencuri beberapa barang itu, mungkin ia akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur untuk satu bulan.

Decak kagum tak henti terucap dalam hati, matanya terus melihat sekeliling tanpa bosan. Kapan lagi ia akan berada di tempat semewah ini, bahkan mungkin kesempatan ini hanya sekali dalam seumur hidupnya.

"Silakan." Pelayan tersebut membuka pintu ganda yang berlapis emas.

Tidak ada perasaan apapun selain hanya decak kekaguman ketika Theresa dengan patuh melangkah masuk ke ruangan tersebut. Seolah dirinya telah terhipnotis pada lampu kristal yang menggantung indah, juga pada langit-langit yang dipenuhi lukisan el fresco.

"Cantik bukan?"

Theresa mengangguk seumpama orang bodoh. Sampai kemudian kepalanya membentur sebuah dada bidang, membawa kesadarannya kembali. Punggungnya seolah dijalari rasa dingin. Seketika Theresa merasa tenggorokannya tercekat, sulit sekali mengeluarkan suara di saat benakmu memutar kejadian mengerikan yang nyaris membuatmu kehilangan nyawa. Namun, secara perlahan ia membalikan badan. Ditatap ragu lelaki tinggi di hadapannya.

Untuk sesaat Theresa merasa kembali terpukau, oleh rahang tegas yang kokoh, oleh bibir yang tersenyum miring, oleh hidung tinggi yang sempurna, juga pada sepasang mata hitam yang menyorotnya.

Tunggu!

Theresa mengambil satu langkah mundur untuk kembali meneliti wajah pria yang masih berdiri tenang. Terakhir kali, yang Theresa ingat adalah mata lelaki ini berwarna merah. Gadis itu mengamati dengan seksama, menyakini jika wajah di hadapannya adalah wajah yang sama yang selama tiga hari ini ia cari, tapi kenapa mata itu ... berbeda.

Apa mungkin dirinya salah lihat?

"Kurang ajar! Apa yang kau pikirkan? Berani sekali kau menatap Yang Mulia dengan pandang seperti itu?"

The One : LuciusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang