Bab 5. Mata Merah

610 65 15
                                        

Sebelumnya aku ingin mengucapkan, selamat menyabut bulan suci Ramadhan bai yang menjalankan. Semoga ibadah puasa kita semua dilancarkan dan diterima. ฅ(๑*▽*๑)ฅ

Ada yang kangen Aku? Eh, Lucius? Kuy, kuy, kuy!! Intip di sini. Apakah dia udah nongol?

______________________________________

Tidak ada.

Tidak ada apa pun selain hanya Theresa yang berdiri di tengah ruangan berdebu dan pengap dengan buntalan barang curiannya. Tentu saja, jaring laba-laba di setiap sudut cukup untuk menjadi pertanda memang rumah ini tak berpenghuni sekian lama. Dia berpikir mungkin itu sekedar rasa takut hingga membuatnya merasakan hal aneh. Namun, ketika mata birunya kembali memindai sekitar. Pandangan gadis itu tertarik pada sesuatu yang berkilat di balik tirai mewah berdebu.

Ada sesuatu di sana, begitulah firasat Theresa. Dan pilihan yang bodoh ketika ia membiarkan langkah kaki mengiringnya ke tempat tersebut. Derit lantai kayu tua berbunyi tiap kali Theresa mengambil langkah lebih dekat. Ketika jarak yang tersisa hanya kurang dari dua langkah, ia menyadari jika sesuatu berwarna merah dari balik tirai tersebut berkedip. Itu jelas bukan batu berlian.

Lari!!

Satu kata perintah yang menggema di kepala gadis tersebut seketika membuat ia membalikan tubuh. Menuju pintu kamar yang terbuka dengan napas tersengal, tapi seberapa kuat dan cepat ia membawa diri tetap tidak menemukan pintu keluar. Seolah ia masih terjebak di sana.

Deru napas tak beraturan memompa paru-parunya, degub jantungnya tak terkendali, Therasa memeluk erat barang curiannya. Dia bersandar pada dinding di sana mengira sepertinya ia akan mati hari ini. Dalam hati, wanita itu berdoa agar Tuhan membantunya melarikan diri. Namun, Tuhan mana yang akan menolong seorang pencuri?

"Aaarrrggghh!!!" jeritnya menutup wajah tatkala merasa sebuah tepukan pada bahu kanan begitu kuat.

"Theresa ini aku. Theresa!!" suara yang tak asing diiringi guncangan pada tubuh wanita itu yang barang kali membuat kewarasannya kembali.

"Theo?"

Ditatapnya wajah sang Adik. Entah dia harus merasa lega atau justru marah karena saudaranya ini tidak mengikuti perintahnya. Bagaimana jika mereka berdua mati bersama di sana? Siapa yang akan mengurus ibu?

"Kenapa kau ikut masuk?"

"Kau terlalu lama. Ayo cepat kita harus sampai ke rumah sebelum matahari tenggelam atau kita akan tersesat di hutan ini."

Theo tidak peduli sekalipun Theresa menggerutu karena ia merasa perlu menggeret wanita ini keluar sesegera mungkin. Lelaki muda itu harusnya melarang kakaknya sejak awal, lagi pula rumah ini terlalu mencurigakan. Nasib baik Theresa dan Theo bisa keluar dari sana dengan utuh, bersama dengan sekarung barang curian.

"Lepas! Kita sudah di luar!" Theresa menghentakan tangannya yang kali ini dibiarkan oleh Theo.

"Apa kau sudah gila!" sentak wanita itu.

"Harusnya aku yang berkata seperti itu! Apa kau tidak waras, hah! Bagaimana jika di sana ada perampok atau penyihir?"

"Sudah kukatakan tidak ada penyihir di dunia ini dan aku lah perampoknya," sahut Theresa tidak kalah sengit.

"Benarkah?" Theo mendengus. "Lalu kenapa kau begitu ketakutan ketika aku menemukanmu?"

"Aku hanya terkejut." Dia melarikan pandangan ke sembarang arah.

"Theresa! Mulai sekarang berjanjilah jika kau tidak akan melakukan hal yang beresiko lagi." Kali ini Theo mencengkram kedua pundaknya. Namun lagi-lagi Theresa menghempaskan kedua tangan itu.

The One : LuciusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang