Kepala Theresa terantuk dan nyaris berenang di dalam wajan panas berisi sup jika saja sebuah tangan tidak menahan dahinya. Mata Theresa melirik pada tangan tersebut dan mendapati Arzel tengah menatapnya khawatir.
"Kau sepertinya mengantuk?"
Theresa menurunkan lengan Arzel dari keningnya. "Sedikit."
"Sebaiknya kau tidur, biar aku atau Theo yang melanjutkan memasak sup untuk ibu."
"Tidak perlu, biar aku saja. Kau kan tamu di sini sekarang."
Arzel meraih tangan Theresa, memperhatikan telapak tangan gadis itu seolah sedang membaca masa depan. "Ini kenapa?"
Dengan segera Theresa berusaha menarik tangannya, tapi Arzel menahan lebih keras. Tatapan mata lelaki itu tampak meminta penjelasan.
"Ini terkena pisau saat memasak," jawabnya gugup.
"Kau yakin?"
Kali ini Theresa berhasil menyembunyikan lengannya di balik celemek. "Iya."
Namun jawaban itu masih belum membuat tatapan Arzel berubah. Sementara Theresa tidak berniat melanjutkan percakapan ini. Masih dengan nada gugup yang sama, Theresa permisi ke dalam dan menitipkan supnya pada Arzel.
Dari balik pintu, gadis itu mendekap tangannya sendiri di dada yang berdebar karena takut jika Arzel mengendus kebohongannya.
Suara batuk mengalihkan perhatian Theresa. "Ibu," gumamnya.
Dengan sigap ia menghampiri Evlyn yang terbaring lemah. Dia segera meraih ember dan membantu ibunya duduk. Wanita dengan rambut yang telah memutih tesebut memuntahkan darah di ember. Hati Theresa semakin khawatir.
"Theo! Theo!" teriak Theresa panik.
Namun sebisa mungkin ia tetap berada di sisi ibunya untuk mengelus punggung serta memegangi ember. "Theo!"
Adik lelakinya itu baru muncul tak lama kemudian. "Ada ap—"
Theo ikut terkesiap melihat bibir ibunya mengeluarkan darah segar.
"Cepat ambilkan air hangat!" Untuk sesaat Theo seolah terpaku, sampai Theresa kembali meneriakan namanya.
"Theo, Cepat!"
Theo berbalik untuk menuju dapur dan hampir menabrak Arzel yang ikut masuk karena mendengar keributan. Tanpa perlu bertanya Arzel sudah bisa menebak apa yang terjadi. Kondisi Evlyn semakin memburuk. Tanpa canggung, Arzel mengambil kain basah untuk membersihkan wajah serta pakaian Evlyn yang terkena muntahan bercampuh darah.
Sesekali ia melirik pada Theresa yang terus mengeluarkan air mata, tapi tetap berusaha kuat saat melihat kondisi ibunya. Gejala ini sudah menjadi pertanda akhir bahwa waktunya tidak akan lama lagi.
"Ini." Theo datang dengan segelas air hangat yang sudah dicampur beberapa tumbuhan untuk menghilangkan rasa mual dan itu cukup berhasil menghentikan ibunya muntah.
Namun tubuh wanita tua itu sudah terlalu kurus dan juga telah kehilangan banyak tenaga. Theresa kembali membaringkan ibunya. Untuk saat ini ibunya masih bisa bertahan, tapi ia tidak tahu bagaiman dengan besok atau lusa. Tekad Theresa untuk mendapatkan ramuan dari lelaki bermata merah semakid kuat.
Malam ini, setidaknya malam ini ia harus berhasil.
*****
Ini adalah malam ketiga Theresa menunggu dan bersembunyi di hutan sekitar rumah yang sama di mana ia nyris ditangkap. Tujuannya ke sini memang untuk mengintai, tetapi bukan untuk mencuri. Melainkan menemukan orang yang menjual obat pada Lord Pashley. Lelaki bermata merah yang Theresa yakin mempunyai banyak persediaan obat sehingga menjualnya pada orang-orang kaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One : Lucius
VampirPangeran Lucius le Conquerior tersadar dari pingsannya. Namun, keadaan istana amat mengenaskan. Semua penghuni di sana sudah menjadi mayat, termasuk sang Ayah. Hanya ia satu-satunya orang yang masih hidup. Oh, tidak! Lucius juga tidak hidup, ia tida...