Chapter 2

195 18 2
                                    

Tak ringan proses untuk merelakan seseorang yang dicintai pergi untuk selamanya rasanya seperti sesuatu yang membakar, meremukkan dan menghancurkan hati. Tapi hari ini Sakura berusaha mengambil keputusan dengan keberanian yang dimilikinya untuk merelakan dan menghadapi rasa takut yang membelenggunya.

Hari ini untuk pertama kali bagi Sakura, dengan keberaniannya mampu berdiri di depan sebuah monumen batu bertuliskan nama keluarga Okamoto, dia meletakkan seikat bunga segar berwarna-warni di depannya. Meski suara-suara dan kejadian saat peristiwa itu terjadi masih mengiang-ngiang mengusik benaknya, membuat gelisah.

Saat itu ada rasa sedih, takut, penyesalan, semuanya bergejolak bercampur menjadi satu mengoyak hati. Tak terasa air mata mulai memenuhi pelupuk mata lalu berjatuhan membasahi pipi.

"Maafkan aku karena baru datang." kata Sakura terisak.

Sakura beringsut ke tanah tepat di depan makam Shinici, meratap di sana dengan tubuhnya yang gemetaran.

"Permisi, apakah anda nona Kinomoto Sakura?" sebuah suara menghentikan isak tangis Sakura.

Mata Sakura melebar ketika mendengar suara wanita paruh baya yang tidak asing baginya itu menyapa dari belakang. Sakura segera menoleh ke pemilik suara tersebut menatapnya dengan nanar. Wanita paruh baya itu adalah Saika Okamoto, ibu Shinici.

Saika terkesiap ketika dia melihat bahwa seorang gadis yang beringsut di depan makam putranya adalah Sakura, dia merapatkan bibirnya menahan haru, terlihat air mata tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya. Saika pun duduk berlutut merengkuh Sakura ke dalam pelukan dan mengelus punggungnya.

Mereka berada dalam posisi itu sekitar kurang lebih hampir lima menit lamanya. Saika melepaskan rasa rindu pada gadis bermata emerald yang dahulunya akan menjadi menantunya itu.

Sakura berderai air mata meluruhkan rasa takut, membasuh kesedihannya dalam rengkuhan wanita paruh baya yang telah dianggapnya sudah seperti ibu kandung sendiri.

"Akhirnya kau datang, aku senang sekali," Saika melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata yang membasahi pipi Sakura dengan telapak tangannya, "aku sangat mengkhawatirkanmu, kau tidak datang saat upacara pemakaman putraku. Lalu aku dan suamiku mengunjungimu ke kediamanmu, saat itu kau tidak bicara apapun atau bahkan menangis, tatapan matamu terlihat kosong dan kami sedih sekali. Tapi aku tahu kau pasti mengalami trauma dan sangat terpukul saat itu." lirih Saika dengan suaranya yang serak.

"Kalian mengunjungiku?" tanya sakura di tengah isakannya.

"Kamu tidak ingat?" Saika tertegun sesaat, "tidak apa-apa jika kamu tidak mengingatnya, aku mengerti saat itu kamu sedang sangat rentan."

"K - ke - kenapa mengunjungiku? K-kalian berhak marah atau bahkan mengutukku karena membunuh putra kalian satu-satunya." ucap Sakura dengan bibirnya yang bergetar.

"Kenapa kau berfikir begitu?" diusapnya dengan lembut kepala Sakura, "walaupun kau belum resmi menjadi menantuku, aku menyayangimu sebagaimana aku menyayangi putraku, Shinici. Bagaimana bisa gadis baik hati yang sekarang ada didepanku ini membunuh putraku, hmm? Ini bukan salahmu karena lahir, jodoh dan mati itu merupakan sebuah takdir. Shinici dan teman-temanmu yang telah pergi pasti sangat sedih jika kamu terus terpuruk seperti ini, mereka sudah berusaha melindungimu jadi bangkitlah untuk menata kembali masa depanmu," Saika menatap lembut wajah Sakura yang sembab, "Mungkin kamu dan Shinici bukan jodoh, tapi mungkin dia ditakdirkan ada untuk melindungimu agar bisa bertemu dengan seseorang yang benar-benar untukmu." ucap Saika sembari tersenyum meski dipaksa.

Sakura menggelengkan kepalanya, "Tidak! Tidak! Tidak mungkin begitu, Ibu! aku akan selalu mencintai Shinici sebagaimana dia mencintaiku hingga akhir hidupnya. Dia melakukan ini untukku, bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain!"

Emerald Eyed Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang