Lelaki berlesung pipit itu mengangguk patuh oleh sang kakak. Menutup semua pintu dan jendela di kamarnya.
"Sebentar, Hyung. Aku tutup dulu."
"Tidak usah, biar Hyung yang menutupnya. Anginnya bertambah kencang. Lagipula bunyi petir sudah mulai terdengar. Kau takut bunyi gemuruh petir kan?"
Guyuran hujan di tengah pekatnya malam menjadikan air matanya tak terlihat. Kyuhyun bisa bebas meluapkan kepedihan yang melanda, mengoyak jiwanya yang tengah terluka dengan cara menangis sepuasnya di tengah hujan yang membasuh tubuhnya.
Tanpa adanya siapapun yang bisa merasa pahitnya menjadi dirinya. Tidak ada uluran tangan atau sekadar untuk menenangkan.
Kyuhyun bernapas tapi pasokan udaranya tertahan oleh sesak yang menerpa.
Andai ada Siwon, Kyuhyun pasti tak akan sesakit ini. Dia pasti bisa bisa sedikit terbebas dari sakitnya sesak yang menjeratnya.
Dalam samar Kyuhyun mendongak. Memusatkan kedua netranya untuk mengamati lantai atas rumah Siwon. Namun yang dia dapati adalah penerangan telah dimatikan. Tepatnya di kamr Siwon. Kyuhyun yakin, dia sempat melihat Siwon keluar dari balik pintu yang mengarah ke balkon.
Kyuhyun melihat Siwon berdiri di tengah penerangan cahaya yang menyorotnya tadi sebelum hujan bertambah deras dan angin semakin kencang.
Tubuh Kyuhyun perlahan gemetaran karena tetetesan air hujan yang menembus kulitnya. Menjadikan tubuhnya dingin diserta ngilu. Belum lagi kaki bagian kanannya mulai terasa sakit.
Kyuhyun hanya bisa pasrah menerima siraman hujan dan kakinya yang mulai berulah. Padahal ingin beranjak pergi dari tempatnya saat ini.
Dengan tubuh gemetar Kyuhyun mencoba berdiri dengan menyeret salah satu kakinya yang tak sejalan dengan otak cerdasnya.
Tolong, jangan membuatku makin susah. Aku ingin pergi dari sini! Dengan menepuk-nepuk kakinya yang sakit secara brutal, Kyuhyun berharap dengan amat sangat.
Jika terus berada di sini, Kyuhyun akan semakin sakit dan menangis sepi. Hujan semakin turun dengan deras, diliputi dengan deru angin beserta suar gemuruh petir. Di dalam sana, di rumah besar yang megah, Siwon dan Jungso tertidur dalam satu ranjang, di dalam kamar yang sudah hangat dan bertambah hangat karena kakak beradik itu saling memeluk erat di dalam selimut.
"Hyung akan memelukmu, menemanimu sampai kau tertidur. Dan jangan merasa sungkan atau malu."
"Biasanya Kyunie yang selalu menemaniku saat terdengat bunyi guruh begini, Hyung. Dia selalu ada untukku. Dia yang selalu menemaniku dulu."
Jungso tersenyum masam. Sambil memeluk adiknya lebih erat. Menyatakan bhwa dia tidak akan membiarkan adiknya itu lepas. Bahkan di saat hyung ingin merangkai kebersaman yang indah denganmu, kau masih tetap saja mengingat dan bercerita tentng Kyuhyun padaku. Kini, dengan sekuat tenagaku, aku tak akan melepaskanmu lagi. Karena kaulah satu-satunya keluargaku yang masih tersisa.
Siwon yang takut akan bunyi guruh yang menggelegar disertai hujan angin memberikan kesempatan bagi Jungso untuk mendekap erat adik semata wayangnya.
Andai Siwon belum bersama Jungso, pastilah sekarang dia akan berada dalam satu ranjang bersama Kyuhyun, dengan anak itu yang memeluk Siwon demi memberikan kenyamanan akan rasa takutnya dari suara guruh yang menggelegar.
Pelan-pelan, Kyuhyun sudah berdiam diri sambil menyender di teralis besi dalam posisi duduk. Kyuhyun sedang di halte bus seorang diri.
Menyaksikan hujan yang mulai henti dari tangisannya.
Menyaksikan orang-orang berlarian di persimpangan jalan berlarian demi mencari tempat meneduh.
Menyaksikan orang-orang berjalan beriringan bersama dalam satu payung yang sama.
Sedangkan Kyuhyun masih tetap di sini dan tak beranjak sedikitpun dengan tubuh yang mulai menggigil.
Titik demi titik-titik hujan yang msih tersisa itu mengingatkan Kyuhyun, bahwa dia akan selamanya sendiri. Tanpa keluarga tanpa sandaran.
Siwon hanyalah seorang yang datang dan kemudian pergi seperti yang lainnya. Memang Kyuhyun ditakdirkan untuk sendiri. Untuk menghadapi sesuatunya sendiri. Menghadapi semua masalah dan porblema dalam hidupnya tanpa ada seseorang yang mampu menguatkannya.
"Hai Nak, tubuhmu basah kuyup. Apa kau baik-baik saja?"
"A—aku baik baik saja, Paman," bohongnya.
"Kenapa kau sendirian malam-malam dengan masih membawa seragam sekolah? Seharusnya kau sudah berada di rumah. Pasti orang tuamu sedang menghawatirkanmu."
"Aku sudah tidak punya orang tua Paman." Kyuhyun susah mengucapkannya. Tapi kenyataan memang dia tak punya.
"Ah, Maaf. Paman tidak tahu."
Kyuhyun tersenyum di tengah pancran mata kelamnya yang meredup. "Sedari kecil aku hidup dan dibesarkan di panti asuhan karena Eomma-ku sudah pergi ke surga," ungkapnya.
"Turut berduka untuk eomma-mu dan—"
"Appa-ku ... entahlah, sepertinya tidak menginginkanku."
Paman di samping Kyuhyun terlihat menyesal dengan ucapannya tadi. Mengapa dia berbicara perihal orang tua pada anak malang ini? Harusnya dia bisa berpikir panjang sebelum berbicara.
"Ini untukmu, Nak. Pakai saja, ya, setidaknya sedikit melindungimu dari terpaan angin yang membawa dingin."
Kedua bola mata Kyuhyun berkaca. "Terimakasih Paman. Paman baik sekali padaku padahal tidak mengenalku."
"Semoga hari bahagia itu akan datang mengiringimu, Nak. Menghapus dukamu dan membayar letihmu. Kau harus percaya dan bersabar! Tuhan selalu punya rencana yang indah untuk orang-orang yang mu bersabar dan menanti dalam doanya. Dan Paman yakin kau adalah anak yang baik dan kuat."
Pertemuan singkat itu rupanya menumbuhkan semangat baru bagi Kyuhyun. Menyadarkan Kyuhyun akan kemurahan hati Yang Maha Kuasa. Kyuhyun harus bersyukur akan segala karunia yang diberi untuknya.
Setiap luka dan kecewa, beban dan ujian yang menjeratnya setiap orang pasti pernah merasakannya. Dia tidak sendirian merasakan itu semua. Bahkan ada yang lebih pedih dari dirinya.
Dan dari pertemuan singkat semalam, mengingatkan Kyuhyun akan sebuah harapan yang seharusnya tak dia padamkan.
Ujian itu ada sebagai penentu seberapa besar nilaimu. Seberapa kuat kau mampu mengikuti dengan keterbatasanmu itu!
"Kyuhyun? Apa kau siap untuk bertanding minggu depan?" Salah satu guru yang menjadi pelatih renang Kyuhyun bertanya pada salah satu anak didik kebanggannya. Berharap Kyuhyun mau mengikuti perlombaan minggu depan. Mengingat itu sangat penting dan ada hadiah berupa uang tunai yang lunayan jumlahnya jika bisa keluar menjadi juara.
"Ssaem, apa kau yakin aku bisa melakukannya? Jika kau yakin padaku, aku akan mengikuitnya."
"Kau mau menuruti Ssaem, Kyu? Jawabanku adalah iya."
"Iya? Maksudnya?"
"Kau harus mengikutinya, S bab jika kau keluar sebagai pemenang bukan hanya medali yang kau dapatkan, tapi ada uang tunai yang jumlahnya tak sedikit dan bisa kau gunakan untuk kebutuhanmu."
Kyuhyun tersenyum. Tidak ada salahnya aku mencoba. Lagipula sakit bukanlah suatu halangan untuk menjadikanku lemah serta pesimis. Tidak pula menjadikan sebuah halangan untuk meraih mimpi yang masih tersisa ini. Aku pasti bisa.
Dan yakinlah jika disetiap langkahmu Tuhan Yang Maha Esa bersama-mu. Melindungimu dan memberimu waktu untuk tidak kau siakan di penghujung waktumu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Slight Smile With Tears
FanfictionKyuhyun dititipkan di panti asuhan oleh Ayahnya saat berumur tujuh tahun. Ayahnya berkata tak mampu menghidupinya karena sang Ayah sudah diberatkan oleh ketiga anak dan istrinya. Jikalau ditambah Kyuhyun, bisa dipastikan ayahnya tidak akan sanggup m...
