Chapter 16

1.4K 223 42
                                    

Before you read, I just want to remind you to pay attention to the warnings in summary.
Done it? Enjoy the story :)
.
.

Jihoon dapat merasakan seluruh tubuhnya di banjiri oleh keringat, bahkan kemejanya sudah lengket dan melekat pada permukaan kulitnya. Aliran darahnya kian melambat, giginya bergemeletuk dan wajahnya semakin memucat.

Kepalanya mulai berkunang-kunang, bekas hantaman keras dari palu besi Seokjin kemarin masih sangat terasa hingga saat ini. Dan demi Tuhan, rasanya sangatlah menyakitkan hingga ke ubun-ubunnya. Ia bahkan heran dirinya masih bisa menghirup udara hingga saat ini.

Pencahayaan dalam ruangan itu hanya di bantu oleh semburat sinar matahari siang yang merembes masuk melalui ventilasi jendela besar di sudut sana, membuat suasana menjadi remang-remang dan semakin mencekam.

Kedua mata Jihoon terus mengikuti setiap pergerakan Seokjin, ia menatap pemuda sinting itu was-was. Perasaannya sungguh tak enak saat ini. Nafasnya langsung saja tercekat tatkala melihat pemuda itu mengobrak-abrik sembarangan isi sebuah laci meja di ujung sana.

Ia tak mau membayangkan apa yang sedang di cari dan di kerjakan oleh Seokjin. Karena apa pun itu, pastilah hal itu akan semakin menambah daftar panjang penyiksaannya.

Jihoon mendengar Seokjin bersenandung kecil, seolah dia sedang melakukan sesuatu hal yang benar-benar dapat menyenangkan hati dan jiwanya saat ini.

Nafas Jihoon menderu, tubuhnya panas dingin. Walaupun sudah jelas Seokjin akan membunuhnya cepat atau lambat, namun ia tak seharusnya menunjukkan ketakutannya terhadap pemuda gila itu.

Ia tak boleh mempertontonkan kegelisahannya, karena Seokjin pasti akan semakin bergembira jika menyadari hal itu. Dan Jihoon sampai kapan pun tak akan pernah mau memberikan kesenangan lebih pada pemuda itu, meski itu artinya ia harus mati-matian menyembunyikan rasa khawatirnya yang semakin lama semakin menjadi-jadi saja.

Denyut demi denyut yang berasal dari tempurung kepalanya bahkan tak bisa di ajak bekerja sama saat ini. Luka nyeri akibat tusukan pisau Seokjin kemarin pun tak bisa membantunya untuk merasa lebih baik. Rahangnya yang berpapasan langsung dengan sepatu running si pemuda psikopat itu pun masih terus meneriakan rasa sakit. Tak heran jika Jihoon di buat pusing oleh semuanya itu.

Seokjin berdecak senang tatkala menemukan apa yang ia cari sedari tadi. Ia membalikkan tubuhnya menjauhi meja itu dan kembali berjalan menuju korbannya yang terduduk tak berdaya di atas lantai berubin dingin, bersandarkan sebuah dinding kokoh di belakangnya.

Seokjin melempar sebuah senyum kecil pada Jihoon, matanya berkilat-kilat senang tiada terkira saat mendapati keadaan Jihoon yang mulai kalang kabut ketika melihat dirinya semakin dekat dengan pemuda itu. Ia bahkan berusaha keras menyembunyikan seringai kejinya saat ini.

"Jadi.. Sejak kapan dirimu mulai menyukai, Namjoon?" tanya Seokjin pelan. Nada bicaranya bahkan biasa-biasa saja, seolah dirinya dan Jihoon tengah nongkrong di sebuah café dan mengajaknya berbincang-bincang ringan saat ini.

Jihoon meneguk ludahnya dengan sulit. Ia tak mengerti kenapa Seokjin menanyakan hal semacam itu kepadanya. Bukankah dia dan Namjoon memanglah sepasang kekasih? Lantas untuk apa ia membahas hal tidak penting semacam itu. Namun Jihoon tak ingin semakin memancing amarah si pemuda gila, jadi ia memutuskan untuk menjawabnya saja.

"Sudah.. sekitar beberapa bulan yang lalu," jawab Jihoon jujur, "Aku mulai menyukainya karena Namjoon-hyung baik kepadaku. Dia membantu kelancaran project ku." lanjut Jihoon perlahan sembari menahan rasa sakit pada rahangnya. Ia bahkan sedikit sekali membuka mulutnya, suaranya juga kecil dan lirih sekali namun Seokjin masih dapat mendengarnya dengan jelas.

Ripped Out - NamJinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang