Rafka (1)

483 16 4
                                    

"Kamu itu gimana sih, kok gak hamil-hamil? Yusi yang baru nikah bulan lalu saja sudah hamil!" protes ibu mertuaku.

Aku menunduk, tak berani membantah. Aku paham betul bahwa anak adalah hak prerogatif Allah. Kehendak Dia-lah akan menitipkannya kepada siapa dan kapan waktunya.

"Jadi kapan kamu mau hamil, Aisyah?" tanya ibu mertuaku lagi tanpa sedikitpun menurunkan nada bicaranya.

"Doakan saja, Bu," kataku akhirnya.

Aku mengusap air mata yang perlahan menetes dari kedua mataku. Ini bukan pertama kalinya ia mengeluhkan soal janin yang tak kunjung hadir dalam rahimku. Bukan niatku untuk menundanya. Bahkan aku sudah berusaha dengan mengikuti sekian saran dari teman-teman maupun hasil browsing di internet. Nyatanya, hingga delapan bulan pernikahanku, Allah belum mau menitipkannya.

*

Sebulan berselang, akhirnya aku mendapati dua garis merah pada testpack-ku. Jangan tanya seperti apa rasa bahagianya, aku sudah tak mampu lagi melukiskannya. Terlalu membuncah, hingga ucap syukur terus kupanjatkan.

Setiap bulan, secara rutin aku memeriksakan kehamilanku pada Dokter Rara. Ia dokter kandungan yang sudah cukup senior. Tak pernah ada masalah serius dalam kehamilanku. Keluhan yang kudapati sama seperti umumnya ibu hamil lainnya. Mual muntah dalam kondisi yang masih bisa ditolerir.

Hingga kandunganku berusia 24 minggu, kalimat Dokter Rara sedikit menggangguku.

"Kepalanya kok besar, ya, Bu?" keluhnya sambil terus memperhatikan layar USG.

"Besarnya masih dalam kategori normal, kan, Dok?" tanyaku khawatir.

Dokter Rara diam. Ia mengukur lagi kepala janinku. "Besar," lirihnya.

"Tapi normal, kan, Dok?" desakku.

"Ya," ucapnya kemudian.

Aku menghela napas lega. Sedikit kekhawatiranku lenyap.

"Saya ingin USG 4D, Dok," kataku kemudian.

"Di RS Bunda, ya, dengan Dokter Harjo."

Aku mengangguk, tak banyak bertanya. Dokter Rara memberikan surat pengantar dengan tulisan ala dokter yang sama sekali tak bisa kubaca.

Belakangan, aku baru mengetahui bahwa Dokter Harjo adalah dokter spesialis obstetri ginekologi subspesialis fetomaternal. Ia adalah konsultan yang menangani penyakit dan kelainan janin dalam kandungan.

*

Sesuai jadwal yang telah ditentukan, aku menemui Dokter Harjo untuk melakukan USG 4D.

"Hidramnion," ucapnya pelan.

"Ha? Apa itu, Dok?" aku mulai panik. Aku tidak mengerti dengan istilah yang disebutkannya. Aku bukan orang yang mengerti istilah-istilah medis.

"Ketubannya berlebih. Terlalu banyak," Dokter Harjo menjeda kalimatnya sebentar. "Perutnya besar," lanjutnya.

"Tapi bayi saya normal, kan, Dok?"

Tak menjawab kalimatku, Dokter Harjo terfokus menatap layar USG. "Kok tidak ada, ya?" lirihnya.

"Tidak ada apanya, Dok?"

Dokter Harjo menyebutkan beberapa istilah yang membuat kepalaku pening seketika. Aku tidak paham dengan istilah-istilah itu. Bahkan saat dijelaskan pun, aku tak juga mengerti.

"Dokter Rara minta tes apa?" tanya Dokter Harjo kemudian.

"Glukosa, Dok," jawabku.

"Sudah tes?"

Aku menggeleng.

"Tes dulu, ya."

Dokter Harjo menuliskan rujukan balik untuk Dokter Rara. Sekali lagi, tulisan mirip cakar ayam kudapati di kertas itu. Aku tak bisa membacanya.

*

Tiga bulan berselang. Siang itu, 4 Januari 2018, bayiku lahir dengan tangisan lirih. Dia laki-laki. Lahir dengan panjang 44 cm dan berat 2,5kg. Dia kuberi nama Rafka.

Aku melahirkan dengan proses Sectio Caesarian (SC). Suster hanya sebentar saja menunjukkan Rafka padaku. Tak ada pelukan, apalagi Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Suster tergopoh-gopoh membawa bayiku segera keluar ruangan.

Dua belas jam setelah persalinan, aku tak mendapati bayiku diantar ke ruanganku. Aku mulai gelisah dan bertanya pada suster yang merawatku.

"Sabar dulu ya, Bu, bayinya sesak. Biar kami rawat secara intensif dulu."

Aku terpaku mendengar pernyataan suster. Sesaat, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Rafka. Slide-slide saat pemeriksaan Rafka di dalam kandungan dulu berputar seperti kaset rusak.

"Rafka kenapa, Ma?"

Tangisku pecah saat melihat mamaku memasuki ruangan dengan menyeka air matanya. Aku semakin yakin ada sesuatu dengan Rafkaku.

"Tidak apa-apa, Sayang. Tenangkan dirimu. Rafka hanya sesak. Dokter sudah memasangkan oksigen untuknya."

Tangisku semakin terguncang. Bagaimana mungkin, bayi sekecil Rafka, bayi yang baru kulahirkan pagi tadi, kini sedang menggunakan alat bantu pernapasan. Bukankah itu sangat memprihatinkan.

Mama mendekapku dalam pelukannya. Diusapnya kepalaku untuk menenangkanku.

"Banyak-banyak berdoa, ya. Insyaallah Rafka akan baik-baik saja," ucap mama yang kuaminkan di dalam hati dengan sangat keras. Rafka akan baik-baik saja.

"Istirahatlah," kata mama lagi sebelum ia beranjak keluar dari ruanganku.

Aku tertidur beberapa lama, hingga sayup-sayup kudengar, Rima, sepupuku, berbicara dengan mama.

"Tapi lahir cukup bulan, kan, Te?"

"Iya. Dia tidak prematur."

"Jadi kenapa, ya, bisa seperti itu?" keluh Rima.

Keyakinanku bahwa Rafka tidak baik-baik saja semakin kuat. Rima seorang bidan. Tidak mungkin Rima akan berkata begitu jika Rafkaku sehat-sehat saja.

Sehari kemudian. Rafka tak juga diantarkan ke ruanganku. Masih sesak, begitu jawaban suster setiap kali kutanyakan. Aku menangis, terus menangis. Terlalu sakit rasanya mendapati bayi yang kulahirkan tergolek kesakitan.

"Bayinya harus segera dirujuk. Rumah sakit ini tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menunjang kesehatannya."

Bagaikan disambar petir di siang bolong, aku nyaris pingsan mendengar kalimat Dokter Yudi, dokter anak yang menangani Rafka.

Suamiku menggenggam tanganku begitu erat. Tapi dari sorot matanya, kulihat dia sangat terpukul. Setetes air mata meluncur begitu saja dari matanya yang sayu. Sesegera mungkin, dia berusaha menghapusnya.

"Rafka akan sembuh, doakan dia."

Aku mengangguk dengan tangisan yang tak dapat kucegah.

"Aku pergi dulu," ucap suamiku sesaat sebelum pergi membawa Rafka bersama ambulance ke Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang.

Ada suatu di dalam dadaku yang terasa hilang. Dia pergi, membawa hatiku. Kini, aku seolah tinggal jasad dengan pikiran kosong.

===== Bersambung =====

SELAKSA CAHAYA DARI SURGA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang