Rafka (4)

215 12 19
                                    

"Multiple anomaly congenital yang dialami Rafka bisa jadi adalah sebuah syndromme. Entah Trisomi, Edward, atau yang lain," ucap Dokter Yudi.

Aku hanya mengangguk.

"Sementara, lakukan kontrol jantungnya secara rutin. Jika ada dana, segera lakukan tes kromosom," lanjutnya.

"Baik, Dok, terimakasih."

Dokter Yudi berlalu, meninggalkanku yang masih tercenung memikirkan kalimatnya.

*

Setelah lima belas hari dirawat di RSSA, Rafka akhirnya diperbolehkan pulang. Dokter Risty memintaku untuk memiliki oksimeter. Sebuah alat yang digunakan untuk mengukur saturasi. Agar kita tahu seberapa pasokan oksigen ke dalam otak.

Kondisi Rafka stabil hingga satu bulan berselang. Lalu Rafka drop. Saturasinya hanya 37 - 45 saja. Saturasi yang bagus ada di angka 95 - 100. Aku segera menghubungi Dokter Risty via chat WA. Dia memintaku untuk segera membawa Rafka ke IGD.

Anehnya, begitu sampai di IGD, saturasi Rafka 90. Dokter di IGD hanya melakukan nebul lalu memulangkan Rafka.

"Ma, Rafka gak mau nyusu ini kenapa?" tanyaku pada mama saat kami sudah di rumah.

Mama mendatangiku, "Kok bengong aja ya?" kata mama sambil menepuk-nepuk pipi Rafka. Rafka bergeming. Bahkan menggeliat pun tidak.

"Ayo bawa ke paviliun saja. Mungkin tadi karena BPJS."

Tak menunggu lama, suamiku segera mengantarku dan mama membawa Rafka ke RSSA kembali.

"Loh, Bu, ini gak sadar. Bawa ke IGD sekarang juga!" kata dokter jaga di paviliun.

Aku segera berlari, menggendong Rafka menuju IGD. Sesaat, dunia terasa berhenti berputar. Derap kakiku seolah sedang di-setting slow motion, IGD terasa jauh sekali.

Mataku menangkap Dokter Stevie sedang memeriksa pasien di IGD. Aku menunggunya. Hanya dia yang kukenal di IGD ini. Kuharap, Rafka akan segera ditanganinya tanpa menunggu antrian lebih lama.

"Dokter Stevie!" pekikku saat ia beranjak meninggalkan pasien yang tadi diperiksanya.

Dokter Stevie mengerutkan keningnya. Sepertinya dia lupa padaku.

"Mamanya Rafka," kataku mengingatkan.

Dokter Stevie tersenyum, "Rafka kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Katanya tidak sadar," jawabku.

"Di mana dia?"

Aku menunjuk di mana Rafka berada. Dokter Stevie segera memeriksanya. Rupanya Rafka mengalami dehidrasi. Penanganan rehidrasi segera dilakukan.

Saat kondisi Rafka mulai stabil, Rafka dipindahkan ke ruang 7 untuk rawat inap. Ruang 7 RSSA adalah ruang anak. Di sini, tidak lagi seperti di perinatologi, aku bisa ikut menemani Rafka di dalam ruangan.

Dokter Risty sedang bertugas ke Jakarta. Maka Rafka dilimpahkan pada Dokter Nena. Dia konsultan jantung anak, sama seperti Dokter Risty.

Keesokan harinya.

"Siap-siap ya, Bu, Dokter Nena akan visite," ucap suster ruang 7.

Aku mengangguk meski tak mengerti, apa yang dimaksud dengan siap-siap. Dokter Nena memeriksa Rafka sebentar.

"Anakmu ini gak berguna! Dia gak mungkin bisa jadi apa-apa!"

Kedua mataku membola mendengar ketusan dari Dokter Nena. Kutajamkan pendengaranku.

"Idiot!" ketusnya lagi.

Aku diam. Terlalu kaget dengan perlakuan Dokter Nena. Siapapun tak akan pernah menyangka akan mendapati sikap dokter yang seperti itu. Air mataku sudah hampir luruh.

"Menurutmu dia ini kenapa?" tanyanya dengan muka jutek jelek yang menyeramkan.

"Trisomi mungkin," jawabku tak yakin. Tes kromosom belum kulakukan untuk Rafka. Jadi aku belum tahu pasti, apa yang menyebabkan kondisi Rafka seperti ini.

"Masa bodoh dengan trisomi! Gak usah tes-tes seperti itu! Percuma! Anakmu gak akan bisa apa-apa."

Aku shock, seolah tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Geram. Apakah Rafka seburuk itu sehingga ia harus menghinanya sedemikian rupa?

"Mending kamu ngaji! Doa yang banyak!"

Telingaku berdengung mendengarnya.

"Ini siapa?" tudingnya pada adikku.

"Saya tantenya Rafka," adikku menjawab takut-takut.

"Kamu sebelum nikah, tes dulu semuanya. Kamu gak mau kan, punya anak idiot kayak dia."

Aku merasa seperti ditampar. Tidakkah seorang dokter bisa bersikap lebih baik. Jikapun tidak bisa berempati, bukankah lebih baik untuk tidak menghina.

"Tapi tesnya mahal, gak bisa pakai BPJS," lanjutnya seolah mengejekku yang melakukan pengobatan Rafka dengan BPJS.

"Sudah gak usah mainan HP, gak usah browsing-browsing! Gak usah cari tau kenapa! Anakmu gak berguna!"

Air mataku akhirnya lolos, tepat saat Dokter Nena membalikkan badan meninggalkanku. Aku menangis tergugu. Apa salahku hingga anakku harus dihina dan dicaci seperti ini?

Kondisi ini bukan kemauanku, bukan pula keinginan Rafka. Kami justru sedang berjuang untuk sembuh.

===== Bersambung =====

SELAKSA CAHAYA DARI SURGA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang